Senin, 04 Juni 2012

Steve Jobs, Perpustakaan dan Revolusi Perpustakaan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


"Jobs keluar dari Reed (College di Oregon) setelah enam bulan. Namun ia tidak langsung meninggalkan kampus. Selama satu tahun enam bulan, Jobs masih berkeliaran di kampus, tidur di lantai kamar teman, dan hidup dengan uang dari mengumpulkan botol. 

Jobs berkeliaran di sekitar kampus tanpa alas kaki, berhenti di perpustakaan untuk membaca-baca tentang Zen, Buddhisme, dan melakukan lebih banyak lagi eksperimen pada tubuhnya.

Penganut Buddha, fruitarian, dan mahasiswa drop-out fakir yang ke mana-mana selalu bertelanjang kaki itu juga sering ikut menyimak kuliah beberapa kelas. Ia sangat tertarik dengan kelas kaligrafi.

"Sesuatu yang indah, bersejarah, halus secara artistik, dan tidak bisa ditangkap oleh sains. Saya merasa itu sangat menarik," kata Jobs di hadapan para wisudawan stanford University pada 2005. Ia kemudian memadukan apa yang dipelajarinya dari sesi-sesi kaligrafi itu dengan komputer -- keindahan dengan teknologi, momen hubungan yang signifikan." 

Itulah potongan tulisan Jim Aley, "1955-1985 : Pada Mulanya..." di majalah Bloomberg BusinessWeek No. 33 (20-26 Oktober 2011). Saya membeli majalah itu (gambar bawah) di toko buku Gunung Agung di Kwitang, Jakarta, 21/10/2011.  Dunia bersedih ketika ia meninggal dunia tanggal 5 Oktober 2011.

Rujuknya cinta. Seperti halnya banyak orang lain, walau saya tak pernah punya komputer Mac, iPad, iPhone atau pun iPad, toh halal saja bila merasa punya kaitan dengen pendiri Apple yang legendaris itu. saya pernah menulis di media massa tentang sepotong sejarah dirinya.

Dalam artikel  berjudul "Geger Kisah Cinta Ulang Apple dan Jobs" yang dimuat di harian Media Indonesia, 11 September 1997 : 12, saya telah mengutip ucapan sahabatnya, Larry Ellison, CEO Oracle, mengenai hubungan emosional antara Jobs dengan Apple.

Steve Jobs di majalah Bloomberg BusinessWeek No. 33 (20-26 Oktober 2011).

"Apple adalah kekasih tercinta Jobs ketika kuliah dan kini mereka bertemu kembali dalam pesta reuni setelah 20 tahun berpisah. Steve Jobs kini telah menikah, mempunyai anak dan hidupnya bahagia. Ketika bertemu kembali dengan kekasihnya itu, ia lihat gadisnya telah kecanduan berat alkohol, dikelilingi konco-konco yang begundal dan preman serta menghancurkan hidupnya sendiri.

Walau pun demikian, nurani Jobs menilai mantan kekasihnya itu adalah seorang gadis cantik yang pernah membuainya dengan kalimat bahwa dialah satu-satunya cintanya di dunia. Lalu apa yang Jobs kerjakan ? Tentu saja ia tak ingin menikahinya. Tetapi dirinya tidak bisa lepas tangan begitu saja karena ia masih menyayanginya.

Maka ia ajak kekasihnya itu ke panti rehabilitasi korban alkohol, membantunya untuk bergaul dengan teman-teman baru yang yang lebih baik, dan mengharap yang terbaik bagi masa depannya."


Revolusi Apple Untuk Perpustakaan. Steve Jobs akhirnya kembali dalam pelukan Apple dan membuat perusahaan inovatif itu berjaya gilang-gemilang.

Bahkan seorang Anthony Molaro (foto) yang mahasiswa doktor Ilmu Perpustakaan Universitas Dominika, dalam artikel di blognya berjudul "IA Greatest Hits: The Apple Way for Libraries (a Manifesto?)" menyatakan bahwa perpustakaan harus dirombak dengan menerapkan strategi bisnisnya perusahaan Apple.

Artikel inspiratif yang ditemukan oleh mBak Lini Ashdown, juga terpajang di grup Revolusi Perpustakaan di Facebook, tetapi tidak memperoleh sambutan yang gegap gempita dari pustakawan Indonesia.

Kembali ke Steve Jobs.

Minggu ini, dari newsletter @Your Library-nya American Library Association (ALA) yang saya langgan, saya memperoleh informasi menarik terkait Steve Jobs. Untuk mengenang kontribusinya di bidang teknologi, Pusat S. Dillon Ripley dari Museum Smithsonian telah memamerkan koleksi Pusat Patent dan Hak Cipta Amerika Serikat yang bertajuk, “The Patents and Trademarks of Steve Jobs: Art and Technology that Changed the World.”

Pameran tersebut berlangsung sampai tanggal 8 Juli 2012.

Pameran yang inspiratif. Ketika sesuatu isu masih segar tertanam dan aktual sebagai perbincangan publik, lembaga seperti museum yang selalu dikesankan sebagai rumah benda-benda kuno telah tampil untuk menjadi relevan dengan rasa ingin tahu masyarakatnya.

Pesan dan keteladanan ini semoga dapat menjadi cermin dan menjadi inspirasi bagi pustakawan Indonesia, untuk mampu tampil secara mutakhir sehingga kiprahnya senantiasa relevan bagi masyarakat yang dilayaninya pula.


Wonogiri,4 Juni 2012
[Catatan untuk Ninik yang cantik :-).
 Hari ini terasa sangat berbeda.].

Kamis, 26 April 2012

Angin Barat, Barcelona dan Kemarahan Pustakawan


Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com

Angin Barat mengajak adu kuat melawan Angin Timur. Yang menang adalah fihak yang mampu menjatuhkan seekor kera yang nampak sedang bersantai-santai di cabang pepohonan.

Angin Barat memulai pertandingan. Ia segera meniupkan hembusannya secara kuat-kuat ke arah kera. Kera yang terkejut dengan sigap segera memegang dahan sekuat-kuatnya. Semakin keras terpaan angin yang menghembus, semakin lengket tubuh kera itu memeluk dahan pepohonan. Angin Barat akhirnya gagal menjatuhkan kera bersangkutan.

Angin Timur memakai cara lain. Ia bertiup semilir, membuai tubuh kera, sehingga dirinya merasa nyaman. Bahkan akhirnya kera itu terkantuk-kantuk dan tertidur. Sontak Angin Timur segera menguatkan hembusannya. Kera itu pun terjatuh.

Kalau Anda meminati kajian tentang pemasaran, periklanan dan kehumasan, variasi lain dari dongeng Aesop di atas (angin melawan matahari) rasanya sudah Anda temui dalam bukunya Al Ries dan Laura Ries, The Fall of Advertising & The Rise of PR (2002). Inti buku ini : iklan itu aksi ibarat AnginBarat, yang menderu, menyerbu, tetapi gagal. Sedang kehumasan (public relations) adalah aksi lembut Angin Timur yang akhirnya berhasil.

Dongeng dan buku di atas segera melintas di benak saya ketika dini hari tadi menonton leg 2 semi final Liga Champions antara tuan rumah Barcelona melawan Chelsea. Pasukan asuhan Pep Guardiola yang canggih bermain tiki-taka menguasai 73 persen pertandingan, mengurung blok pertahanan Chelsea secara habis-habisan.

Barca menggebrak ibarat hembusan si Angin Barat. Sang kera putih asal London segera pasang gerendel Italia (manajernya kan orang Italia, Roberto Dimateo) untuk menahan serbuan awak Catalan. Lama-lama Carlos Puyol dkk kecapekan, frustrasi, dan harus membayar mahal.

Chelsea yang sampai kehilangan benteng tangguh Gary Cahill (cedera) dan bahkan kaptennya yang jahil John Terry kena kartu merah, akhirnya mengunci tiket ke final berkat gol Ramires dan si matador Spanyol, Fernando Torres.

Reporter pertandingan berseru, betapa dalam minggu ini Barcelona di kandang sendiri telah ditaklukkan oleh pasukan lawan yang sama-sama berseragam putih. Hari Minggu lalu oleh seterunya, Real Madrid dan dini hari tadi (25/4/2012) oleh Didier Drogba dan kawan-kawan.

Pertandingan itu mungkin memberikan sesuatu pesan bagi kita, para sejawat pustakawan, betapa agresivitas itu kadang tidak produktif. Memang mungkin memberi kita gelegak adrenalin, perasaan superior, tetapi fihak yang diserang akan juga segera memasang gerendel untuk bertahan.

Sekadar contoh, ketika profesi kita merasa dilecehkan dan kita kontan membalasnya dengan hanya berupa protes dan petisi, kita sepertinya telah terjun dalam kancah pendekatan kalah-menang. Atau bahkan, kalah-kalah adanya. Yang marak justru mutual misunderstanding antara kedua belah fihak !

Ke depan, kiranya profesi ini masih harus belajar untuk terus mampu berbesar hati. Juga ketika menerima perlakuan negatif. Termasuk berani menunjukkan sisi-sisi rawan, vulnerable, dan bahkan kekurangannya sendiri. Seperti komedian sejati, ia rela membeset dirinya sendiri, melakukan otopsi, dan mempertontonkan segala hasilnya kepada dunia.

Dua puluh tujuh tahun yang lalu adalah Drs. Sukarman,MLS, Kepala Pusat Pembinaan Perpustakaan Depdikbud telah menyatakan, kalau ada anggapan yang kurang benar terhadap profesi pustakawan, itu bukan kesalahan masyarakat. “Kita belum berhasil memperkenalkan profesi itu kepada masyarakat. Ini merupakan tantangan kita.” (Sinar Harapan, 25 Januari 1985).

Sudahkah berhasil kini ? Marilah berintrospeksi ketika seorang pustakawan senior Harkrisyati Kamil berujar di Facebook akhir-akhir ini : “Saya melihat pustakawan lebih senang berbicara dengan sesama pustakawan sehingga orang di luar lingkaran kita tidak mengetahui tentang kegiatan kita."

Dengan keberanian untuk berjujur diri itu akan membuat dawai hati fihak lain akan bergetar seirama dengan hati kita. Kita sama-sama manusia. Mereka akan mendekat. Berpeluang kita rangkul sebagai sahabat dan mitra untuk berjuang bersama.

“Kita mampu meraih apa pun di dunia ini apabila kita mampu membantu orang lain untuk meraih apa saja yang mereka inginkan.”

Itu kata Zig Ziglar. Apa kata Anda ?

Wonogiri, 25/4/2012

Rabu, 11 April 2012

Arthur Clarke, Ken Robinson dan Perpustakaan Sebagai Kuburan Passion Para Pustakawan ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Futuris. “Tragedi terbesar dalam seluruh sejarah peradaban manusia boleh jadi adalah pembajakan moralitas oleh agama.”

Itulah salah satu ucapan terkenal dari Sir Arthur Clarke (1917- 2008, foto), ilmuwan Inggris, futuris, dan penulis fiksi ilmiah tersohor. Ketika terjadi tindak kekerasan dengan latar belakang agama, ucapan itu sering saya kutip-kutip kembali.

Hari ini (12/4/2012) yayasannya yang bernama Arthur C. Clarke Foundation akan menyerahkan penghargaan kepada tiga tokoh yang dinilai berjasa dalam pencapaian prestasi (achievement), pembaruan (innovation) dan imajinasi (imagination).

Penerima penghargaan untuk prestasi akan diterimakan kepada Vinton G. Cerf, yang terkenal dengan sebutan “Bapak Internet.” Dia adalah salah satu tokoh penemu bersama arsitektur dan protokol dasar Internet.

Penerima penghargaan untuk kategori pembaruan akan diserahkan kepada Pradman Kaul, Presiden dari Hughes Network Systems, LLC. Pradman Kaul tercatat menonjol dalam kepemimpinannya dalam pengembangan komunikasi satelit, yang ia awali sejak tahun 80-an ketika mendirikan perusahaan di garasi yang menghasilkan jaringan satelit berbasis VSAT.

Sir Ken Robinson on Human Intelligence

Pembantaian kreativitas.Penghargaan untuk imajinasi, kategori yang baru pertama kali dihadirkan pada tahun 2012 ini akan diterimakan kepada Sir Ken Robinson (foto). Tokoh internasional yang menginspirasi dalam merevolusi pendidikan, kreativitas dan inovasi, selama ini bekerja untuk pelbagai negara Eropa, Asia,Amerika, badan internasional, perusahaan besar dan lembaga budaya internasional lainnya.

Jutaan warga Indonesia yang berduyun-duyun berwisata ke Singapura tiap tahun, adalah pula hasil karya Sir Ken Robinson sebagai penasehat pemerintah Singapura.

Sir Ken Robinson terkenal dengan pendapatnya betapa sekolah selama ini hanya berjasa membunuh kreativitas anak. Carolyn Foote, pustakawan sekolah di Austin, Texas (AS) dalam blognya Not So Distant Future menceritakan saat ia mengikuti kuliah umum Sir Ken Robinson yang menitikberatkan sekolah sebagai wahana bagi setiap murid dapat menemukan passion, panggilan hidupnya.

Merujuk hal itu,Carolyn Foote yang meminati kajian tentang web 2.0 itu menyatakan, perpustakaan sekolah merupakan “passion centric.” Pusatnya para murid menemukan panggilan hidup. Karena sekolah tidak mampu membekali pengetahuan cukup untuk setiap anak, waktunya juga terbatas, dan guru pun juga tidak mampu menfasilitasi minat atau bakat tiap-tiap anak didiknya.

“Perpustakaan merupakan tempat paling ideal bagi tiap anak didik dalam menjelajah minat masing-masing,” kata Carolyn Foote. Bahkan menurutnya, perpustakaan merupakan antidote atau penangkal bagi pendidikan model “ban berjalan” selama ini. Karena belajar di perpustakaan bersifat serendipity**, walau ditetapkan pada topik tertentu tetapi dalam penjelajahan informasi setiap orang akan banyak menemukan hal-hal yang tidak terduga.

Dengan menyediakan akses secara luas terhadap beragam bahan pustaka dan juga akses Internet kepada semua fihak, dengan bimbingan pustakawan yang terampil, maka perpustakaan merupakan “passion central” bagi semuanya.

Kuburan passion. Adakah istilah atau jargon perpustakaan sebagai passion central itu akan menarik bagi sejawat pustakawan Indonesia untuk mencamkan, mengeksplorasi dan menyebarkannya ? Jangan-jangan di Indonesia ini perpustakaan justru menjadi kuburan yang nyaman dan terhormat bagi passion kaum pustakawan.

Seorang Mita Kussumawardani dalam blognya telah menulis pernyataan yang jujur berikut ini :

“Saya kesal. Saya sebal. Saya jengkel! Sebal karena pada akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa kebanyakan pustakawan bekerja tanpa passion. Kebanyakan tenggelam dalam rutinitas yang bersifat teknis, dibayar, selesai.

Kalaupun ada diskusi, kenapa ya rasanya berat banget?! Apa karena yang berdiskusi adalah para pakar yang memang berkutat dengan teori, jadi begitu fasih berekspresi? Atau apa karena kebanyakan pustakawan adalah orang-orang “nyasar”?

Nyasar masuk jurusan dan nyasar kerja di perpustakaan, jadi ga peduli untuk lebih mengulik perpustakaan dan kepustakawanan lebih dalam jadi selama pekerjaan teknis beres, ya selesai aja? Jadi, diskusi? Ga ah males toh ga bakal bawa perubahan atau nambahin gaji, mungkin begitu kira-kira jawabannya.”

Apa pendapat Anda ?

Terakhir, di Facebook, saya sejak beberapa bulan yang lalu telah mencatatkan diri sebagai salah satu fans Sir Ken Robinson, dimana status dia pagi ini menjadi inspirasi penulisan kabar ini.

Info lanjut tentang penghargaan yayasan Sir Arthur Clarke 2012, silakan klik : disini.

** Proses serendipity juga terjadi dalam penulisan status ini. Semula saya ingin menulis untuk pembaca umum. Tetapi saat mandi pagi, muncul gagasan untuk mengaitkan ide Sir Ken Robinson itu dengan perpustakaan. Melalui bantuan Google, saya menemukan blognya Carolyn Foote ini.

Wonogiri, 12/4/2012

Jumat, 17 Februari 2012

Revolusi Perpustakaan : Jangan Libur Di Hari Minggu !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Perpustakaan umum kita terlalu birokratis.
Dikelola terlalu PNS-sentris.

Utamanya terkait jam buka dan waktu layanan yang diatur kaku menurut jam kerja PNS dan bukan dirancang untuk mampu memberikan layanan secara maksimal kepada pembaca/konsumen/klien mereka.

Akibatnya fatal. Pada jam-jam kerja perpustakaan justru lebih banyak dibekuk sepi. Karena para pelajar/mahasiswa, konsumen/klien perpustakaan memang sedang berfokus pada aktivitas utama mereka. Belajar di sekolah, berkuliah dan bekerja.

PERPUSTAKAAN BUKA.Jam layanan perpustakaan yang kurang luwes menghalangi akses masyarakat untuk belajar. Nampak anak-anak menunggu perpustakan umum Wonogiri dibuka sesudah tutup untuk sholat Jumat.

Kondisi kronis ini merupakan pemborosan besar-besaran. Juga sangat merugikan eksistensi perpustakaan bersangkutan. Belum lagi dampaknya yang menggerus citra sampai harga diri profesi pustakawan di tengah sengitnya persaingan memperebutkan atensi dan waktu warganya.

Konstelasi tersebut harus diubah. Jam buka dan waktu layanan perpustakaan sebaiknya dirancang secara luwes dan dinamis untuk mampu memberikan layanan secara maksimal kepada pembaca/konsumen/klien mereka.

Utamanya tuntutan yang realistis saat ini : perpustakaan umum, jangan tutup di hari Minggu. Perpustakaan umum harus tetap buka di hari Minggu.

Tujuan utamanya menjadikan perpustakaan berpeluang menjadi obyek kunjungan alternatif (syukur-syukur bisa menjadi obyek kunjungan utama) yang sehat dan edukatif bagi masyarakat dalam mengisi hari libur mereka. Para bapak, ibu, kakek dan nenek dapat mengantar anak-anak, para cucunya, untuk belajar dan berekreasi secara bersama-sama.

Dengan menggalang kerjasama dengan relawan, menggilir jam kerja secara luwes bagi pegawainya atau mencari beragam solusi kreatif lainnya, pustakawan berpeluang secara kreatif menjadikan perpustakaannya di hari Minggu menjadi arena menarik dan edukatif diluar status baku (dan kaku) yang sering diartikan secara sempit sebagai tempat baca dan peminjaman buku belaka.

Perpustakaan umum, bukalah layanan Anda di hari Minggu.

Tanpa perubahan pola pikir dan tindakan proaktif di kalangan pustakawan sendiri, pasti akan hanya membuat kehadiran lembaga perpustakaan dan profesi pustakawan dianggap semakin tidak relevan bagi masyarakat, divonis sebagai tidak penting, hanya sebagai pelaku utama pemborosan belaka.

Perpustakaan akhirnya hanya terpuruk sebagai gudang buku yang terus-menerus terjerembab dipeluk sepi, karena ditinggalkan oleh konsumennya. Dari hari ke hari.

Perpustakaan umum, jangan libur di hari Minggu.

Sobat-sobat pustakawan, yakinlah, dengan lebih dulu Anda berubah, dengan berkorban, dengan merevolusi diri, dengan lebih dulu memberi, saya yakin banyak hal positif akan terjadi bagi Anda di masa mendatang. Dan terutama juga bagi masyarakat yang Anda layani selama ini !


Wonogiri, 1/2/2012

PS : Artikel telah terpajang di akun facebook saya (www.facebook.com/bbharyanto) dan memperoleh komentar seperti tersaji di bawah ini.Harap maklum.Terima kasih.


Hartadi Wibowo : Setuju !! Saya sebagai mantan pustakawan, yang telah cukup lama meninggalkan dunia perpustakaan, terbesit pikiran bahwa nanti, setelah saya 100% pensiun dari kegiatan kerja formal sehari-hari, ingin rasanya "menyumbangkan" tenaga dan pikir...Lihat Selengkapnya

Mbah Yo : Menurut teori yg kita terima di bangku kuliah dulu, harusnya memang begitu. Tetapi, mana ada teori yg bagus/idealis yg terpake di negeri tercinta ini???

Jazimatul Husna Arba'I : Ssy sbgai pustakawan dan insyaalah trus pustakawan meski embel2 entak usahawan, budayawan or dosenwan..he hee saya tetep idealis mangkanya saya gak mau lah jd PNS dulu.., klo pun iya saya mau langsung sbgai kepala biar bisa ambil tindakan / langkah2 konkrit untk perpustakaan indo tercinta...ha haa.MERDEKALAH PIKIRAN KITA..MERDEKALAH PERPUS KITA..

Danang Dwijo Kangko : Wah saya Pustakawan Universitas (Alumni Ilmu Perpustakaan UI) kalo mudik ke Wonogiri tp blm tau wujud perpustakaan daerahnya. hehehe...

Prafita 'Anya' Imadianti : Dear @Danang Dwijo, makanya kamu klo pulang kampung ke wonogiri jgn cuma jajan bakso aja. *eh! tapi sempetin liat2 perkembangan perpustakaan disana. siapa tau almamater kita yg bisa bantu mengembangkan perpustakaan ke arah yg jauh lebih baik. yuk ah, amalkan semua ilmu yg sdh kita dapatkan di bangku kuliah. SEMANGAT! :))

Danang Dwijo Kangko : Mbak Prafita 'Anya' Imadianti, pas mudik semua kantor kan tutup lebaran. Aku gak jajan bakso, wong sibuk cari salam tempel pakdhe-budhe... Hahaha

Prafita 'Anya' Imadianti : Nyeh! kamu ini ya.. bsk ke rumah saya, nanti dpt salam tempel angpao rasa bakpao! *Eer

Mbah Yo : Mas Danang n mba 'Anya': naaah, gitu dong. Pustakawan harus bisa spt pak Bambang Har, seneng bikin ketawa ketiwi org lain, biar perpustakaan ga dipandang sbg gedung buku yg angker...

Prafita 'Anya' Imadianti : nyahahaha.. iya,mbah Yo. Lha wong, titel kami aja S.Hum (baca: Sarjana HUMOR), jadi lulusan JIP UI bisa bikin srimulat. :D

Hendro Wicaksono : • 38 teman yang sama
‎Danang Dwijo Kangko, om Bambang Haryanto ini seniormu di JIP UI loh. Angkatan 86 nggih. Pernah pula berpetualang di sekitar jakarta medio 80-an. pernah jadi room mate saya di Jagongan Media Rakyat 2010 (Yogya) lalu. Siapa nyana kalo ternyata masih satu guru satu ilmu, alias berguru ke Ibu Somadikarta. Jadi kalo pulang ke wonogiri kuwalat kamu kalo ndak sowan. Jangan lupa ya :D

Muntamah Sekar Cendani : Yang pernah belajar tentang kepustakaan mohon sudi berbagi ilmunya pada saya, saya mendirikan pondok maos di rumah saya, buka tiap hari sesuai jam buka rumah. Salam kenal dan takzim untuk semua. Terimakasih.

Bakhuri Jamaluddin : Selalu deh tulisan Bambang Haryanto menarik. Singkat cerita, walau bukan hr Minggu, BJ doeloe sejak 1973-an sdh mempelopori buka Perpustakaan Akademi Gizi Jakarta di luar jam kerja. Istilahnya buka sore dan malam, pkl 15.00 - 17.00 dan 19.0...Lihat Selengkapnya

Lini Ashdown : Setuju, mas Bambang Haryanto! Kasihan mereka yang butuh perpustakaan. Di kota dekat saya perpustakaan umum pusat hari Minggu tutup, ada 2 cabang yang buka hari Minggu. Perpustakaan cabang (namanya apa ya, cabang dari perpustakaan umum yg ad...Lihat Selengkapnya

Danang Dwijo Kangko : Pakdhe @Bambang Haryanto Salam Kenal. Ternyata satu padepokan ya bang Hendro Wicaksono. Mudah2an bisa ketemu nanti kalo mudik. Sekedar usul, mungkin Perpus daerah Wonogiri bisa meniru apa yang dilakukan Perpus daerah di Bandung yang tidak hanya membuka perpustakaannya saat weekend tp juga menjemput bola dengan menggelar "lapak" di kawasan warga olahraga pagi/ kawasan ramai lainnya.

Bambang Haryanto : Terima kasih untuk semua komentar yang menarik. Ide perpustakaan agar buka di hari Minggu itu jelas bukan ide baru. Sekadar contoh yang saya tahu, Perpustakaan Daerah DKI Jakarta yang berada di Jl. Tanah Abang III, ketika saya kunjungi tahun 1987-an juga tetap buka di hari Minggu.

Bagaimana dengan perpustakaan umum di kota Anda ? Kisah dan cerita menarik dari Anda, silakan dibagikan juga kepada saya ya.

Bambang Haryanto : Pro sobatku Hartadi Wibowo : Terima kasih, Ted. Itu ide amat menarik, mulia dan berpahala. Tidak hanya baik (semoga) bagi perpustakaan itu nantinya, tetapi yang pasti sangat baik bagi kesejahteraan rohani dirimu juga.

Semoga mulai sekara...ng kau sudah menggalang koneksi, ngobrol sana-sini, dengan pustakawan/perpustakaan yang kau incar sebagai tempat kau ingin menjadi relawan nantinya. Karena ide baik itu kadang tidak selalu bernasib baik dalam pandangan orang lain.

Alangkah baiknya bila idemu itu disebar-sebarkan pula kepada para calon atau sesama pensiunan pustakawan. Atau membuat gerakan (groups) di Facebook dengan topik ini. Asosiasi Gerakan Pensiunan Pustakawan Untuk Memajukan Perpustakaan. Misinya menyerukan ajakan agar sekali sebulan, di hari Minggu, kaum pensiunan pustakawan bersedia menjadi relawan bertugas di perpustakaan.

Tidak lupa, ide serupa juga kiranya baik dibagikan kepada para mahasiswa/mahasiswi ilmu perpustakaan. Kalau generasi pustakawan senior dan junior bisa bertemu di perpustakaan, hal itu jelas akan baik bagi semua yang terlibat.

Saya tunggu kabar baik lanjutannya darimu.

Bambang Haryanto : Pro sobatku Bakhuri Jamaluddin : Tks, BJ. Perpustakaan Akademi Gizi ini pernah menjadi tempat kau, saya, Djuhar, Hartadi Wibowo sampai Gemuru Ritonga, bikin konvoi motor dari Rawamangun sampai Kebayoran Baru. Kemudian asyik gunting-gunting ...isi koran saat membuat kliping untuk mata kuliah Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia-nya Pak Junus Melalatoa.

Kebijakanmu yang membuka layanan sebelum waktu perkuliahan dimulai itu semoga dapat diteladani oleh perpustakaan lainnya di masa kini.

Menomorsatukan kepentingan konsumen ketimbang terpatok mengukuhi aturan-aturan (birokratis) yang mengekang kelancaran layanan kini menjadi kredo institusi bisnis dan pemerintahan seluruh dunia. Sudah saatnya diaplikasikan pula untuk perpustakaan.

Kapan salah satu wisma di sekitar Graha Kebun Kita milikmu di Pamulang itu dijadikan sebagai perpustakaan mini untuk anak-anak warga sekitar ? Koleksi bukunya, antara lain, diminta disumbangkan oleh para pengantin [“baik pengantin sunat atau pun pengantin urat :-) “] yang menyewa ruang resepsi Graha Kebun Kita.

Bambang Haryanto : Teruntuk sobatku Subagto Ramelan (Mbah Yo) : Terima kasih. Ada ide rada “sinting” untukmu : Bagaimana bila mengadakan ceramah ringan tentang seluk-beluk batu mulia juga berpameran batu mulia koleksi Safir Andayu Cileduk di perpustakaan Jakarta, di Hari Minggu ?

Bambang Haryanto : Terima kasih mBak Lini Ashdown. Cerita Anda kepada saya dulu tentang pameran koleksi kain batik milik keluarga Ashdown di perpustakaan umum di Inggris, telah ikut menjadi ragi untuk kembali menyuarakan gagasan lama ini.

Ide intinya, kala...u saja kalangan pustakawan kita mau membuka kungkungan dunia tempurungnya yang sempit, pasti akan terbuka hal-hal baru dalam berinteraksi dengan masyarakat. Diharapkan kemudian, pada ujungnya, interaksi tersebut jelas akan mengangkat harkat profesinya sendiri dan keberadaan perpustakaan yang ia kelola.

Sangat saya tunggu cerita-cerita dan inspirasi dari Inggris.
Terima kasih.

Bambang Haryanto : Sekadar info untuk Hendro Wicaksono : Jagongan Media Rakyat II Tahun 2012 di Yogya akan dilaksanakan 23-25 Februari ini. Tentu saja, nara sumbernya berganti, minimal saya tidak diundang :-) lagi.

Dulu di th 2010 bisa sekamar dengan Hendr...o, walau sama-sama dari JIP, tetapi yang "dujual" di JMR itu beda produk. Saya jualan ide komunitas Epistoholik Indonesia (http://esaiei.blogspot.com/) dan kau jualan obat pelangsing, SLIMS, yang juara itu. Sukses selalu.

Bambang Haryanto : Untuk Danang Dwijo Kangko : Salam kenal kembali. Makasih untuk infomu tentang perpustakaan Bandung itu. Usulmu tentang Perpustakaan Wonogiri, baik sekali.

Di pinggiran waduk Gajah Mungkur setiap minggu pagi ada pasar tiban,ramai sekali, tetapi mobil keliling milik Perpustakaan Wonogiri selalu duduk manis saja di garasi.Mungkin hal yang sama juga terjadi di daerah lainnya ?

Muntamah Sekar Cendani : Perpustakaan Hong Kong buka tiap hari dari jam 8:00 am-9:00 pm, pegawainya shift.

Subhan Ahmad : Gagasan yang menarik, Pak. saya menduga, pihak yg duluan menerima gagasan ini adalah masyarakat yg memang membutuhkan perpustakaan di luar jam kerja. sedang pihak yg kurang dapat menerimanya adalah staf perpustakaan yg membayangkan akan bertambah pekerjaannya. saya pikir hal tersebut wajar, sehingga perlu ada suara yang seimbang dari pihak staf perpustakaan yg bisa "ketiban" jam kerja tambahan.

Sekali lagi saya menduga, staf perpustakaan bisa jadi sebetulnya tidak keberatan dengan gagasan ini, namun mungkin mereka belum dapat meyakinkan pengambil kebijakan di perpustakaan tempat mereka bekerja. oleh karena itu, selain kampanye perpustakaan buka di hari minggu, juga perlu ada kesepakatan dan saling pemahaman yg dapat menjamin staf perpustakaan memperoleh kompensasi yg memadai bila gagasan ini diwujudkan.

Danang Dwijo Kangko : Yang penting kerjanya sistem shift dan dapet tambahan uang lembur. jadi waktu tetep ada dan uang tetep ada *kurang lebih begini biasanya yang dipikirkan.... Hehehehe

Sungkana Hadi : Ide, gagasan, komentar, pemikiran, usul atau apapun namanya yang pada dilontarkan di forum ini memang bagus, hebat malah. Tentu saya sangat setuju, dan berharap bahwa perpustakaan manapun, jenis apapun dapat semaksimal mungkin menyediakan kesempatan bagi pemustaka untuk memperoleh layanan yang maksimal pula.

Cuma bagaimanapun juga kita tetap harus realis, melihat kenyataan: situasi-kondisi-toleransi-pandangan-jangkauan (ini apa ya singkatannya?), kita ini masih manusia biasa yang terbatas kemampuan tapi tak terbatas kemauan, yang ingin bersosial dengan menyangkal kepentingan diri tapi tidak bisa sepenuhnya tidak menengok kebelakang - ke keluarga - ke keluarga/kerabat/lingkungan yang masih memerlukan kehadiran kita hampir setiap saat.

Lagi pula, kita masih berada di wilayah dan budaya Indonesia raya, yang belum sepenuhnya mampu memfasilitasi terbangunnya kondisi ideal perpustakaan dan kepustakawan. Misalnya, sistem pergiliran tugas atau sift; itu jelas amat bagus, dan kayaknya itulah satu-satunya solusi yang paling menjanjikan.

Tapi, berapa banyak pegawai (apalagi pustakawan) yang ada di perpustakaan kita (apalagi di perpustakaan umum)? Apakah cukup jika dari jumlah yang terbatas itu kemudian dibagi-bagi menurut sift kerja? Kalau kemudian para pustakawan dan pegawai perpustakaan rela melayani menuurut sistem sift kerja, apakah cukup memperoleh apresiasi dari para pemangku kepentingan perpustakaan?

Akankah mereka berduyun-duyun mengunjungi perpustakaan pada jam-jam ekstra atau pada hari-hari libur itu? Atau jangan-jangan para pustakawan/pegawai yang sudah rela berkorban itu hanya jadi korban serangan nyamuk-nyamuk petang/malam hari, atau juga jadi sasaran gangguan dari penunggu ruangan yang tak kelihatan .. (seperti pernah saya alami waktu pas jaga sore/petang dan tidak ada satu pun pengunjung yang datang.. eh di sela-sela rak buku itu malah terdengar suara orang berjalan-jalan dengan sandal diseret, lalu lain kali ada suara buku jatuh ..he..he..he..).

Dengan mengemukakan itu semua bukan berarti saya pesimistis, tetapi realistis saja, agar tidak tergoda untuk mengembangkan harapan yang muluk-muluk yang akhirnya membuat kecewa berat ... Salam pustakawan, tetap semangat sambil berdoa semoga ada perubahan membaik dari sikon---dsb tadi.

Lini Ashdown : Mas Bambang Haryanto, saya lupa cerita, dulu waktu saya belum kerja, masih ada waktu untuk ke public library, paling seneng kalau pas ke sana pas waktunya story telling.

Seneng lihat anak2 kecil, yang belum atau yang sudah bisa baca buku, konsentrasi semua dengerin ceritanya. Sempat mikir coba kalau ada itu di Indonesia, betapa senangnya anak2.

Tinuk Yampolsky : Setuju banget. Weekend bisa diisi dengan "quality times" di perpustakaan!

Danang Dwijo Kangko : Pemaparan Pak @Sungkana Hadi bagus sekali, based on true story. KONON (jangan dibalik!) masalah klasik di Indonesia ya itu2 aja, SDM dan Dana. Kalau melibatkan relawan/komunitas dalam membantu kegiatan perpustakaan di weekend bagaimana kira2? tentu gak 100% sukarela, paling gak komunitas/relawan tersebut mendapat ongkos+makan siang atau sebagainya.

Di Bandung pun menggelar "lapak" perpustakaannya cuma di minggu pagi-menjelang siang saja. meraka membina dan melibatkan anak2 jalanan tp tetep di dampingi pustakawan yg dapet giliran lembur. kurang lebih begitu yg saya dapat saat kunjungan ke sana.

Prafita 'Anya' Imadianti : Ini thread kenapa jadi panjang beneeer yak? *geleng geleng pinggul* Pindah lapak yok, agan-agan.. Colek babeh Bambang Haryanto, Sungkana Hadi, Mbah Yo, Hendro Wicaksono, Danang Dwijo Kangko diskusi di Note yang lain yuuuuuk.. Biar ilmu terus bergerak dinamis. SEMANGAAAAAT hari Jumat dear Librarian! :)

Bambang Haryanto : Terima kasih untuk semua pendapat. Meminjam slogan sepatu Nike, "Just do it," program perpustakaan buka di hari Minggu kan bisa dilakukan dulu sebulan satu kali. Juga jangan terbelenggu mindset katak dalam tempurung bahwa yang jaga perpustakaan harus pegawainya sendiri. Kan bisa relawan, seperti yang diusulkan oleh Hartadi Wibowo. Juga oleh orang dari luar yang bisa dipercaya.

Sudah saatnya orang-orang perpustakaan membangun ekosistem, dengan mengajak orang luar untuk bekerja bersama-sama.Bagaimana ?

Bambang Haryanto : Terima kasih mBak Muntamah Sekar Cendani untuk cerita Anda tentang jam buka perpustakaan umum di Hong Kong. Saya juga mengucapkan salut dengan gagasan luhur dan kerja mulia Anda, yang dengan biaya sendiri berprakarsa mendirikan pondok maos di rumah Anda sendiri pula, dengan jam buka begitu revolusioner, yaitu tiap hari sesuai jam buka rumah.

Ketika institusi resmi dan pegawai-pegawainya suka ribet terserimpung oleh mindset kerdil yang mereka buat sendiri, ikhtiar Anda pantas diteladani. Saya ingin kenalkan Anda dengan mBak Ning Sasa Suroboyo, juga dengan Gus Muh Muhidin M Dahlan.

Keduanya tidak pernah kuliah Ilmu Perpustakaan, tetapi tahu bagaimana cara terbaik membangkitkan kecintaan anak-anak di daerah tertinggi bukit kapur Pacitan, juga banyak daerah pinggiran lain, terhadap buku dan perpustakaan melalui aksi nyata. Bahkan mBak Sasa juga menulis buku menarik tentang pengelolaan perpustakaan. Semoga kontak ini bermanfaat bagi suksesnya misi Anda mencerdaskan anak-anak di sekitar Anda.

BTW, kalau Anda pernah cerita tentang gagasan menjual koran-koran bekas untuk membeli buku, saya bisa usulkan ide tambahan : anak-anak diminta mengumpulkan botol-botol plastik bekas air minum dalam kemasan. Tutupnya dikumpulkan tersendiri, labelnya tersendiri, botolnya tersendiri. Bahkan segel yang bening itu, juga sebaiknya dihimpun tersendiri. Dalam ilmu sampah plastik, bahannya berbeda-beda, dihargai berbeda-beda pula.

Pendek kata, sambil jalan, “Just do it,” semoga Anda akan memperoleh banyak pencerahan. Kemajuan tidak bakal dihasilkan oleh orang-orang yang nyaman berada dalam arus utama, tetapi justru oleh mereka yang berada di pinggiran. Seperti Anda !

Prafita 'Anya' Imadianti : Librarian pasti membutuhkan peran penting dari para user ataupun pihak lain yang bisa mendukung semua program perpustakaan. Diharapkan ke depannya bahwa perpustakaan bukan lagi secara harfiah diartikan sebagai gedung tempat menyimpan buku dan dokumentasi lainnya.

Perpustakaan masa kini dan masa depan nantinya akan dapat menjadi fasilitas sejenis "knowledge center" yang bisa mendukung seluruh kegiatan user. Bertukar berbagai informasi dan ilmu dimana saja, kapan saja dan tentu tanpa batas. Library could be the best place ever to get knowledge. CMIIW. :)

Hartadi Wibowo : Luar biasa ! Gayung BH (baca : Bambang Haryanto) disambut dari 7 penjuru angin. Begawan Sungkana Hadi dari ujung timur Ind ikut urun rembug. Apa kabar pakdhe ?

Saya yg sdh 17 th terlempar dari dunia perpust langsung merasakan atmosfir yg tl...h lama saya rindukan. Namun nampaknya permasalahan lama masih "going no where". Tak apa. Betul kata BH, siapa tahu dari para pensiunan pustakawan dan mahasiswa yg minat terjun sbg relawan bisa menorehkan setetes warna utk lingkungan kita, dan jiwa kita. Semoga.

Bambang Haryanto : Makasih berat Hartadi Wibowo. Perang lama itu terus akan berlangsung. Antara pendukung gelas setengah penuh vs gelas setengah kosong. :-(
Muntamah Sekar Cendani : Terimakasih Pak untuk Gus Muh, sedang dalam rangka mencarikan pekerja sosial yang bersedia mengkoordinir kegiatan yg sedang kami gagas, yaitu Reading Group, beliau mengusulkan buku Babad Kadiri agar sesuai dengan kondisi geografis.

Kegiatan RG ini ditularkan oleh mentor saya Mas Sigit yg sekarang mukim di Swiss, mengadopsi kegiatan RG Ulysses-nya James Joyce. Saya sendiri sedang merencakan kegiatan di pondoj maos, untuk para pengunjung untuk menulis puisi atau menggambar dan karya itu ditempel di pondok maos, tujuannya adalah supaya pondok maos tidak seperti museum dan kerjaan juru kunci hanya ngelap buku atau tragisnya hanya ngobrol.

Sejujurnya, saya prihatin dgn perpustakaan umum pemerintah yg hanya sebagai simbol saja keberadaannya tanpa upaya penambahan koleksi atau pengaturan buku yg memudahkan pengunjung, ini yg terjadi di perpusda Kediri, daerah saya.

Muhidin M Dahlan : IBOEKOE: Buka Jam 1 siang sampai 10 malam, dari Selasa-Ahad. Perpus ditambah ada internet-non-limited (tapi hotspot), remaja2 menjadikan ruangan sbg tempat mengerjakan tugas2 sekolah. di rumah yo sumpek. Salam Pak Bambang Haryanto. Program Belanja Buku Bersama dengan remaja 3 kampung selesai sudah (bahasa formalnya: pengadaan buku generasi 2.0/berbasis user). Kirim2 salam juga dengan Muntamah Sekar Cendani.

Muntamah Sekar Cendani : Gus Muh, lha itu program belanjanya kok tidak ngajak saya ?

Sungkana Hadi : Saya senang, ada semangat luar biasa untuk menjadi relawan melayani pemustaka di perpustakaan, walau baru dari segelintir orang. Mungkin ditindak-lanjuti dengan mengambil salah satu perpustakaan sebagai percobaan, lalu dibuka pendaftaran un...tuk menjadi relawan pada perpustakaan itu .. tentunya disebutkan jam bukanya / pelayanannya berapa lama dsb. kita lihat berapa banyak yang mendaftar, lalu kita atur jadwal giliran... mudah2an yang "terlanjur" mendaftar tidak lalu bosan dan minggu berikutnya tidak nongol lagi ...

Nelly Rahmawati : Trimksh pak Bambang Haryanto....masukannya....skedar informasi...perpustakaan kab.Semarang....utk jam layan...dr jam 7.30 smpe dg jm 20...dan armada perpusling sll ada dikeramaian publik...spt area car free day dihari minggu...jg ditmpt2 wst scr bergilir.dan tdk memberlakukan jam tutup buka spt itu...!kami jg membuka pos2 baca diRS.dll..mksh

Bambang Haryanto : Terima kasih Gus Muh (Muhidin M Dahlan) untuk infonya. Wah surprise, obrolan ringan kita dulu tentang ide Perpustakaan 2.0 dimana para pembaca menjadi petugas akuisisi rupanya telah terlaksana di Perpustakaan IBOEKOE.

Aksi Anda itu jelas loncatan yang jauh mendahului pola pikir kaum pustakawan arus utama. Mereka mungkin tidak tahu bahwa tiraninya telah runtuh di era dunia yang saling tersambung via Internet ini, dimana mereka tidak lagi sakti sebagai penentu bahan-bahan pustaka yang harus dibaca oleh klien.

Karena sebagaimana dibahas dalam buku The Wisdom of Crowds oleh James Surowiecki (2004, https://www.facebook.com/pages/The-Wisdom-of-Crowds/112022025480764), pengambilan keputusan oleh kerumunan jauh lebih canggih dibanding oleh satu atau dua pakar.

Untuk mBak Muntamah Sekar Cendani : Salut untuk ide lanjutnya, perpustakaan mini juga sebagai pusat pengembangan kreativitas anak-anak, baik melukis atau menulis puisi. Jangan berhenti, dicita-citakan untuk diterbitkan menjadi buku ya ? Salam.

Ketika saya bercerita tentang Perpustakaan DKI yang buka di hari Minggu belasan tahun lalu itu, diimbuhi cerita dari Danang Dwijo Kangko tentang Perpustakaan Bandung yang melakukan hal serupa, saya fikir ide saya itu sudah basi, selesai,lalu tinggal kita berbincang tentang apa yang sebaiknya dilakukan di perpustakaan pada hari Minggu itu. Ternyata masih juga ada pro dan kontra. Silakan saja.

Tetapi saya memilih untuk mengobrolkan hal-hal yang terarah menuju realisasinya saja. Ayo kita terus bicara : apa sebaiknya yang dilakukan oleh perpustakaan yang buka di hari Minggu itu ?

Dari Inggris, mBak Lini Ashdown yang putri Ibu Lily K. Somadikarta, telah memberikan contoh : acara mendongeng di perpustakaan.

Terima kasih untuk kabar bagus dari Semarang, dari mBak Nelly Rahmawati, betapa layanan Perpustakaan Kabupaten Semarang begitu proaktif dengan mendatangi para konsumen di pelbagai event dan tempat. Bisakah mBak Nelly bercerita lebih detil ? Anda akan saya ajak masuk groups ini untuk menularkan prestasi Anda dkk di Semarang ini. Matur nuwun.

Aris Thofira : Subhanallah Ideolog2 Perpustakaan Revolusioner. Ilmu yg bermanfaat.

Muntamah Sekar Cendani : Sejujurnya, memang bagus sekali perpusda Semarang itu, selain menerbitkan buletin rutin dan dikelola secara profesional. Hendaknya, layanan masyarakat seperti perpustakaan dan museum dibuka lebih fleksibel terutama hari minggu dan public holiday di mana tujuannya adalah untuk sarana rekreasi keluarga.

Jika layanan umum pegawainya mengikuti jam dinas pegawai negeri, jelas sangat tidak efektif. Pengalaman saya waktu cuti dan berkunjung ke museum di Jakarta jam 15;00 pengunjung dihimbau untuk keluar karena akan tutup, ini lucu sekali, cobalah mindsetnya dirubah.

Bambang Haryanto : Info ringan : Groups "Revolusi Perpustakaan" kita ini baru saja memiliki sahabat baru. Bukan pustakawan, tetapi ahli tato. Namanya Anton Wijanarko.

Wah di kepala ini langsung muncul impian eksotis : perpustakaan buka hari Minggu, lalu ada acara ceramah dan demo tentang tato. Demonya, mentato banyak orang dengan teks, " I Love Library."

Lini Ashdown :Mas Bambang Haryanto, saya ingin tanya, selain adanya gagasan menjual koran-koran bekas untuk membeli buku, mas Bambang mengusulkan ide tambahan : “anak-anak diminta mengumpulkan botol-botol plastik bekas air minum dalam kemasan.

Tutupnya d...ikumpulkan tersendiri, labelnya tersendiri, botolnya tersendiri. Bahkan segel yang bening itu, juga sebaiknya dihimpun tersendiri. Dalam ilmu sampah plastik, bahannya berbeda-beda, dihargai berbeda-beda pula.”
Apakah anak-anak itu diminta untuk mengumpulkan botol-botol plastik agar mereka bisa membeli buku, atau diberikan ke perpustakaan umum untuk menambah dana yang seret, atau untuk kesadaran lingkungan.

Maaf kalau pertanyaannya bodoh, karena apapun maksud mas Bambang idenya bagus. Saya jadi terpikir, mungkin itu ada baiknya untuk mengajari anak-anak sejak kecil untuk memisahkan sampah, tidak membuang semua jadi satu. Yang bisa didaur ulang atau dijual lagi dipisahkan dari sampah lainnya. Jadi tidak hanya koran/kertas dan plastik, tapi juga kaleng. Sampah kebun pun bisa dijadikan pupuk. Sebenarnya seluruh komunitas harus diajari, tapi rasanya pemerintah tidak punya gagasan itu.
Mungkin perpustakaan bisa mengawali mengajari pemakai perpustakaan atau lingkungan di sekitarnya. Saya terpikir itu setelah melihat tayangan di BBC tentang kisah tukang sampah di Indonesia (bisa dilihat tayangannya di YouTube). Kasihan tukang-tukang sampah dan pemulung yang tiap hari mengaduk-aduk sampah untuk mencari apa yang mereka bisa jual untuk tambahan penghasilan.

Kalau sampah RT sudah dipisah-pisahkan mereka kan tidak usah mengaduk-aduk sampah lagi. Heh ... koq jadi ke luar dari rel semula ... obrolan tentang perpustakaan jadi ngobrol soal sampah. #

Bambang Haryanto : Tks mBak Lini Ashdown. Ide memilah sampah itu saya pungut dari cerita pengalaman kenalan saya Bambang Suwerda dari Bantul yang membangun bank sampah. Lalu saya ingin hal tersebut (masih cerita dan gagasan) bisa dikombinasikan, antara pen...gelolaan bank sampah itu dengan perpustakaan/pondok baca komunitas yang dibangun sendiri oleh masyarakat. Setiap ingin baca buku, anak-anak diminta "membayar" dengan botol plastik atau sampah lainnya.

Teman saya lainnya, yang pakar sampah dari Lhokseumawe, Aceh, Baharuddin Sanian, malah sudah mengintegrasikan operasi bank sampah itu dengan sekolah-sekolah setempat. Jadi ceritanya, setiap ada sampah pasti segera "disikat" oleh anak-anak tersebut. Beliau yang mengajari teori sampah plastik kepada saya.
Silakan cari di Google.Moga bermanfaat.

Lini Ashdown : Wow ... bagus sekali gagasan bank sampah itu, mas Bambang Haryanto!

Muntamah Sekar Cendani : Saya juga mengenal seorang pakar yg membawahi bank sampah di Kalimantan, setahu saya di Depok juga ada, bahkan jika mau kita bisa mengolah sampah rumah tangga menjadi pupuk organik, sudah banyak dijual komposter dr harga mulai 250 ribu skal...a rumah tangga sampai harga puluhan juta untuk untuk skala perusahaan semacam Gudang Garam.

Lha kok malah ngomongin komposter, maaf, tapi bagus juga, dr sampah rumah tangga yang diolah menjadu pupuk organik jika dijual akan menjadi duit juga. Menurut kawab fb saya yang pakar pangan dr IPB, Indonesia butuh banget pupuk organik dan prospeknya bagus. Malah kemana-mana heehehe.

Lini Ashdown : Mas Bambang Haryanto, ternyata hari ini tgl. 4 Februari hari Perpustakaan di Inggris. Julia Donaldson, Waterstones Children’s Laureate, menulis puisi untuk hari nasional perpustakaan. Ini puisinya yang saya ambil dari http://fallenstarstori...es.blogspot.com/2012/02/julia-donaldson-writes-poem-for-library.html

Library Poem by Julia Donaldson
Everyone is welcome to walk through the door.
It really doesn't matter if you're rich or poor.
There are books in boxes and books on shelves.
They're free for you to borrow, so help yourselves.
Come and meet your heroes, old and new,
From William the Conqueror to Winnie the Pooh.
You can look into the Mirror or read The Times,
Or bring along a toddler to chant some rhymes.
The librarian's a friend who loves to lend,
So see if there's a book that she can recommend.
Read that book, and if you're bitten
You can borrow all the other ones the author's written.
Are you into battles or biography?
Are you keen on gerbils or geography?
Gardening or ghosts? Sharks or science fiction?
There's something here for everyone, whatever your addiction.
There are students revising, deep in concentration,
And school kids doing projects, finding inspiration.
Over in the corner there's a table with seating,
So come along and join in the Book Club meeting.
Yes, come to the library! Browse and borrow,
And help make sure it'll still be here tomorrow.

Lihat Selengkapnya
Fallen Star Stories: Julia Donaldson Writes poem for Library Day
fallenstarstories.blogspot.com

Muntamah Sekar Cendani : Kapan Indonesia punya hari perpustakaan ya?
Bambang Haryanto : Terima kasih,mBak Lini Ashdown untuk info inspiratif dari Inggris ini. Tanggal 4 Februari harus berusaha diingat juga oleh para pemangku kepentingan dunia perpustakaan di Indonesia. Untuk berefleksi.
Puisinya Julia, bukan main.

"Battle o...r biography ? Gerbill or geography ? Gardening or ghosts ? Sharks or science fiction" terasa sebagai musik indah yang mengunjam pesona dan sihirnya.
Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, musik-musik dalam kata itu pasti sulit hadir seperti yang aslinya.

Rizal Saiful-haq : ‎Bambang Haryanto, Lini Ashdown dan yang lain terima kasih atas ide dan diskusinya, mohon izin diskusi ini saya tarok di group fb tertutup JIPers (alumni, mahasiswa dan dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan UIN JKt.) http://www.facebook.com/groups/jipers/247685991974271/

Lini Ashdown : Mas Bambang Haryanto, nah tantangan buat kalian yang ada di Indonesia, pustakawan atau bukan, untuk membuat puisi tentang perpustakaan. Puisi itu dibuat juga karena pemerintah punya rencanca menutup perpustakaan umum, terutama cabang-cabang....

Betapa perpustakaan umum diperlukan, apalagi di Indonesia, supaya semua masyarakat punya akses ke perpustakaan, tidak hanya sebagian saja yang bisa memakai perpustakaan sekolah, perpustakaan universitas atau perpustakaan khusus.

Bambang Haryanto : Terima kasih kepada Rizal Saiful-haq. Sungguh suatu kehormatan bila gagasan atau wacana ini bisa ikut mewarnai diskusi di akun FB yang mewadahi alumni, mahasiswa dan dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan UIN Jakarta. Jangan lupa, komentar yang ada disini juga bernas-2, jangan dikecualikan, karena telah menjadi kesatuan tak terpisahkan dari diskusi terkait gagasan sederhana ini.
Muntamah Sekar Cendani : Alangkah baiknya diskusi bukan hanya diskusi, tapi dilanjutkan dengan aksi. Menurut saya, diskusi melahirkan teori, teori tanpa aksi hanya jadi tumpukan makalah.

Bambang Haryanto : Terima kasih untuk mBak Lini Ashdown atas inspirasinya terkait puisnya Julia Donaldson di atas. Saya tidak tahu, apakah di perguruan tinggi ilmu perpustakaan yang tingkat lanjut (DN atau LN) ada bahasan tentang kedigdayaan "soft power" semacam puisi atau lagu sebagai senjata mempromosikan nilai-nilai luhur perpustakaan ? Rekan lainnya, adakah pencerahan dari Anda tentang hal ini ?

Apakah terpercik oleh pelbagai organisasi profesi kepustakawanan kita untuk mengadakan lomba menulis puisi semacam ?

Di tahun 1982, menjelang peringatan 40 Tahun Pendidikan Ilmu Perpustakaan, saat ikut rapat panitia di JIP-FSUI saya mengusulkan gagasan mengajak siswa/pelajar untuk menulis surat kepada pustakawan. Karya mereka lalu dibukukan. Mungkin karena saya kurang terampil dalam menjual gagasan, mungkin karena dana panitia cupet, gagasan akhirnya itu tidak menjadi kenyataan.

Muntamah Sekar Cendani : Sebenarnya kemarin dalam perjalanan ketika membaca komentar dari Mbak Lini, saya terinspirasi untuk membuat puisi tema perpustakaan. Yang lebih spesifik seperti ini bagus sekali, cuma sayangnya, dunia perpustakaan sedikit sekali peminatnya ...tapi tidak menutup kmungkinan jika para sastrawan akan tergerak hatinya untuk membuat antologi puisi tema perpustakaan. Bahkan bisa pula dibikin dari berbagai kalangan, misal kategori tingkat siswa SD-SMP-SMU-PT maupun umum.

Rio Purboyo : PakDhe Bambang Haryanto > note dan diskusinya, sangat membangun. Wah, jadi terpikir untuk mengeksekusi nih. Satu per satu deh! Matur nuwun, njeh pakDhe :D

Bambang Haryanto : Suatu kehormatan, ketika obrolan ini juga mampu menarik perhatian Mas Rio Purboyo yang baik hati dan penuh atensi ini. Kami yang mungkin terbiasa memakai "kacamata kuda" dalam melihat masalah (karena mungkin saking fanatiknya,juga tak teras...a terjebak dalam pusaran kutukan pengetahuan !), jelas membutuhkan masukan dari pribadi seperti Anda.

Silakan ambil mana yang bisa Anda eksekusi. Jangan lupa, kami dibagi ceritanya. Matur nuwun.

Bambang Haryanto : mBak Muntamah Sekar Cendani : Kami tunggu puisi Anda.Terima kasih.

Lini Ashdown : Mas Bambang Haryanto, lagi-lagi saya lupa bilang bahwa Julia Donaldson itu pengarang buku anak-anak. Anak-anak saya sendiri waktu kecil suka sekali salah satu bukunya yang terkenal. Dia mengatakan bahwa dia sering ke perpustakaan umum, maka...nya menentang rencana pemerintah yang akan menutup beberapa cabang perpustakaan umum. Sebagai pengarang salah satu tujuan dia sering ke perpustakaan adalah untuk melihat ilustrasi buku anak-anak. Dari situ dia tau siapa ilustrator yang bisa dia pakai untuk buku-bukunya.

Suami saya juga tetap memakai perpustakaan umum untuk meminjam buku-buku yang ingin dia beli tapi tidak yakin isinya bagus/menarik, atau ada buku yang dia perlukan tapi dia tidak ingin membeli. Sebelum beli dia pinjam dulu untuk dilihat apakah benar isi buku itu bagus. Jadi dia juga tanda tangan petisi supaya local library kami tidak ditutup. Dia banyak baca buku-buku non fiksi jadi tidak tertarik dengan Kindle.

Friska Fauzi : Setuju,,,,kebetulan sekali hari minggu kemaren saya baru saja dari wonogiri dan sempat memperhatikan perpustakaan umum yang jika dari arah waduk gajah mungkur terletak di kiri jalan, posisi agak di atas...dan tutup :)...sebelumnya salam ken...al dahulu pak, saya dari perpustakaan proklamator bung karno,,sekedar share.,selama ini kita (perpustakaan proklamator bung karno) menerapkan 7 hari buka selama seminggu (untuk bagian layanan),,formula 7 sudah digunakan tapi yang 24 (jam sehari) belum :),,,dan melihat dari animo masyarakat, pada hari sabtu dan minggu, jumlah pengunjung melonjak,,,bahkan bisa menjadi sarana wisata edukatif,, dengan banyaknya keluarga yang datang bersama anak2nya untuk sekedar membaca dan belajar,,,jadi hal seperti ini pun bisa dilakukan oleh perpustakaan2 umum yang lain,,selalu semangat :D

Bambang Haryanto : Untuk Friska Fauzi, terima kasih untuk kisah yang inspiratif dari Blitar ini. Sebelumnya, sobat saya mBak Ning Sasa Suroboyo baru saja nulis status yang memberikan apresiasi tinggi terhadap kondisi hebat dan layanan yang pantas jadi teladan... dari Perpustakaan Proklamator Bung Karno, yang tempat kerja Anda ini.

Semoga kelebihan dan daya tarik dari sosok & kharisma Bung Karno itu bisa Anda manfaatkan sebaik mungkin untuk menunjang sukses program perpustakaan Anda. Istilah wisata edukatif dari Anda itu, sangat memberi inspirasi, semoga segera menulari sobat-sobat pustakawan dari perpustakaan umum lainnya, sebagaimana harapan Anda, bahwa mereka pun bisa berbuat sesuatu yang kreatif ketika perpustakaan membuka layanan di hari Minggu.

Semoga kalau Anda lewat lagi di hari Minggu, Perpustakaan Daerah Wonogiri tidak dalam kondisi tutup lagi. Saya tunggu cerita menarik lainnya. Salam.

Rotmianto Mohamad :• Ada contohnya: yaitu Arpusda (Arsip dan Perpustakaan Daerah Kab. Magetan) hari sabtu-minggu tetap buka. Keren banget kan??? hehehe... gak percoyo? silakan kontak salah satu librariannya yg jg sohib saya satu kos2an :-P sdr Ruly Rusdianata

Elly Julia Basri : Setuju ... Perpustakaan Umum mustinya buka hari Minggu.

Jumat, 15 Juli 2011

Manol, Pustakawan dan Kemunafikan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Transportasi. Itulah dunia kehidupan sebagian dari warga kampung Kajen, kampung domisili saya di Wonogiri. Hampir setiap rumah memiliki anggota keluarga yang bekerjadi bidang transportasi. Utamanya bis.

Ada yang menjadi pemilik, tetapi sebagian besar bekerja sebagai supir, kondektur atau mekanik. Dua adik ipar saya, juga bekerja di kancah yang sama. Sehingga bila berada di terminal bis, baik misalnya di Tangerang, Bogor, Pulogadung sampai Kampung Rambutan, tak jarang kami sesama warga Kajen akan saling bertegur sapa.

Saya tidak tahu apakah ada warga kampung Kajen yang bekerja sebagai manol. Saya juga tidak tahu asal-muasal sebutan ini. Manol fungsinya, kurang-lebih, dapat disamakan dengan traffic announcer dalam dunia penerbangan. Mereka bertugas memberitahu kepada penumpang tentang lalu-lintas pesawat terbang di bandar udara.

Tetapi yang pasti, para manol itu lebih tepat disebut sebagai calo bis. Lahan kerja para manol tersebut, tentu saja, di terminal atau di pos-pos pemberhentian bis di jalanan. Mereka memberitahukan kepada calon penumpang tentang bis-bis jurusan tertentu yang akan segera berangkat.

Bahkan dalam masa ramai penumpang, misalnya menjelang saat-saat musim mudik Lebaran, tak jarang mereka melakukan pemaksaan kepada calon penumpang. Karena setiap kepala penumpang yang bisa ia ajak naik ke sesuatu bis, akan ada imbalannya.

Perpustakaan, secara sembrono, mungkin dapat diibaratkan sebagai terminal bis. Koleksi atau bahan pustaka merupakan jajaran bis-bis yang menunggu untuk ditumpangi para pembacanya atau klien perpustakaan, untuk menuju destinasi tertentu. Para pustakawan adalah para manol tersebut.

Dalam konteks pengelolaan perpustakaan di Indonesia, boleh jadi dapat kita catat adanya satu lagi kesamaan antara pustakawan dan manol tersebut. Kesamaan yang bila meminjam kata-kata favorit presiden SBY, merupakan kesamaan yang memprihatinkan.

Karena kedua profesi itu semata mengandalkan omdo, bersemangat mengampanyekan destinasi tiap-tiap bus atau bahan pustaka yang tersedia, tetapi mereka senantiasa tidak pernah ikut menumpanginya untuk menuju tujuan yang selalu mereka gembar-gemborkan !

Ini kewajaran atau justru kemunafikan ?


Wonogiri, 16/7/2011

Buku, Wartawan dan Impotennya Pustakawan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Surat kabar The Rocky Mountain News berhenti terbit. Februari 2009. Menjelang usianya yang ke-150 tahun.

“Ketika sebuah surat kabar mati, hanya ada sedikit yang bisa diingat. Koran kami, koran harian. Jurnalisme, seperti banyak kata orang, adalah sejarah yang ditulis secara buru-buru, ketika berita siap dicetak, menjelang jatuhnya tenggat. Surat kabar tidak dimaksudkan menjadi abadi. Ia hadir sebagai kebenaran untuk hari itu, untuk momen itu.”

Tenggorokan saya ikut tercekat ketika membaca tulisan Mike Littwin, wartawannya, yang berjudul “Not just closing doors, but dying” itu. Dan ketika harian Kompas Jawa Tengah berhenti terbit di penghujung tahun 2010, isi tulisan Mike Littwin itu kembali berenang-renang dalam kepala saya.

Ini kabar buruk. Ini kabar menyedihkan. Karena sebagai kaum epistoholik, saya dan kami bakal kehilangan media untuk berekspresi, untuk beropini, untuk berkiprah menyuarakan keluh kesah atau pun kritik warga negara sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi.

Mungkin penutupan koran itu jauh lebih menyedihkan bagi para wartawan koran bersangkutan. Karena panggung tempat mereka berekspresi telah runtuh dan menghilang. Tetapi arsip-arsip karya mereka, semoga saja, masih dilestarikan di perpustakaan. Mike Littwin masih bisa mengenang hal indah itu, dengan berkisah :

“Saya maniak surat kabar. Newspaper junkie. Saya senantiasa menghabiskan waktu hidup saya untuk menenggelamkan diri di lantai dasar gedung perpustakaan, tempat di mana sering disebut sebagai kuburan koran-koran, karena menghimpun koran-koran yang sudah tidak terbit lagi.

Saya membaca-baca peristiwa yang diliput secara kontemporer tanpa menunggu kemewahan hasil dan waktu yang dihasilkan sebagai kajian para sejarawan.

Ketika Bob Dylan pindah ke New York dari Minnesota, ia menghabiskan seluruh masa musim dingin di Perpustakaan Umum New York. Ia membaca-baca surat kabar, bukan buku-buku, yang berisi peristiwa mengenai Perang Sipil. Dan ketika ia menuliskan lagu-lagunya, isinya terinspirasi dari isi koran-koran lama bersangkutan.”

Di Perpustakaan Wonogiri, koran-koran itu dibundel dan bertumpuk-tumpuk di gudang. Sering juga tidak lengkap. Suatu saat, gudang itu pasti akan penuh. Mungkin koran-koran itu akan diloakkan.

Setiap hari, petugas perpustakaan mencatat berita tentang Wonogiri dalam buku besar. Tulis tangan. Data yang tercatat meliputi judul berita, nama koran, halaman, dan tanggal pemuatan. Untuk pencarian kembali, akses yang paling mungkin adalah Anda harus mengingat tanggal pemuatannya. Persyaratan yang teramat sulit.

Saya pernah mengusulkan, pencatatan itu sebaiknya dilakukan dengan komputer. Jadi relatif mudah ditemukan. Kepada stafnya yang rada melek Internet, saya sarankan daftar itu diunggah sebagai artikel di blog.

“Bisa ditulis dalam bentuk anotasi, atau lebih baik disalin secara lengkap. Jadi informasi ini akan bisa diakses dari seluruh dunia, karena koran-koran kita cenderung menghapus dari pangkalan data mereka sesudah berita itu satu bulan terpajang di situsnya.”

Saran itu saya kirim lewat email. Karena sebagai konsumen perpustakaan (“di Wonogiri sangat sedikit yang mengenal saya sebagai orang yang pernah belajar ilmu perpustakaan :-(. Sebagian mengenal secara keliru saya sebagai wartawan. Tetapi banyak sekali yang mengenal diri saya sebagai orang pengangguran”), rasanya tidak enak menyuruh-nyuruh para pegawai negeri untuk melakukan sesuatu hal. Saya toh bukan atasan mereka. Entah dibaca atau tidak, email saya itu tidak ada tanggapan.

Derita orang kasim. Para wartawan yang korannya tewas, sebenarnya masih terbuka peluang namanya untuk tidak cepat-cepat terkubur dalam sejarah. Dengan menulis buku. Wartawan harian Kompas dari Triyas Kuncahyono sampai Wisnu Nugroho dengan buku yang semula berupa blog (seperti buku saya) berisi cerita-cerita ringan seputar SBY, telah memberikan keteladanan. Wartawan jelas punya keterampilan menulis, mengapa tidak dimanfaatkan secara maksimal ? Tetapi rasanya memang jauh lebih banyak wartawan yang tidak menulis buku.

Pustakawan, idealnya juga mampu menulis buku. Minimal buku tentang dirinya sendiri. Agar jejak sejarah dan kiprahnya pribadi tidak mudah terhapus oleh waktu. Mungkin contoh ini muluk-muluk, lihatlah buku-bukunya Daniel J. Boorstin, sejarawan yang kemudian menjabat sebagai Pustakawan dari Library of Congress, Amerika Serikat.

Dirujuk dari iklan klub buku di majalah-majalah favorit saya di tahun 1980-an seperti The Atlantic Monthly, Discover, Omni, Popular Science sampai Science Digest yang saya baca-baca dan pinjam dari perpustakaan Lembaga Indonesia Amerika (LIA), lalu terantuk dengan salah satu buku karya Daniel J. Boorstin. Buku yang berjudul The Discoverers ajaibnya pula, akhirnya bisa saya pinjam dari perpustakaan PDII-LIPI pada saat-saat itu pula.

Dunia telah berubah.

Termasuk dalam dunia penerbitan buku yang kini bukan sebagai barang mewah lagi. Juga tidak elitis. Teknologi print on demand memungkinkan setiap orang menerbitkan bukunya sendiri, walau hanya satu eksemplar saja. Tokoh pemikir pemasaran digital, Seth Godin, bilang : “Ini eranya pemimpin murahan.” Lalu menurutnya, menerbitkan buku sekarang ini merupakan aktivitas yang murahan pula adanya.

Tetapi penulisan buku dan pustakawan, ada hal yang agak mengusik. Dalam hal ini boleh jadi pustakawan memang kesambit kutukan yang sulit dielakkan ? Posisinya sehari-hari yang berada di tengah jubelan buku-buku dan lautan informasi, justru membuat mereka terancam berat dibekap impotensi ?

Ini bukan kesimpulan saya pribadi. Tetapi simak ujaran John Braine di surat kabar The New York Times (7/10/1962) yang berkata : “Being a writer in a library is rather like being a eunuch in a harem.

Anda setuju ?


Wonogiri, 15/7/2011

Minggu, 10 Juli 2011

Mengapa Pustakawan Indonesia Tidak Menulis ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Ethiopia lebih berjaya dibanding Indonesia dalam hal kuantitas tulisan ilmuwannya. Dalam Essays of an Information Scientist Volume I 1962-1973 (ISI Press, 1977), ilmuwan Indonesia tahun 1972 hanya mempublikasikan 13 judul di pelbagai terbitan ilmiah dunia. Posisi kita di peringkat 87 dari 150 negara.

Amerika Serikat di peringkat pertama (92.011 judul artikel), disusul Rusia (17.209), Jepang di peringkat 7 (8.473) dan India di peringkat 8 (5.144). Posisi Indonesia jauh di bawah Malaysia (peringkat 45/105 artikel), Singapura (49/78 artikel), Filipina (56/59), bahkan keok dari negeri miskin Afrika, Ethiopia, yang berada di peringkat 84 dengan 16 judul artikel !

Realitas buram lawas di atas perlu diungkap kembali sebagai garis bawah artikel “Terbitkan atau Minggirlah” dari Agus M. Irkham di Kompas Jawa Tengah (15/9/2009) yang berteriak : akademisi Indonesia, mana karya-karya ilmiahmu ?

Gugatan yang menarik. Tetapi bila kita berkaca secara global, problem kurang menulisnya para akademisi itu bukan monopoli borok akademisi Indonesia semata. Robert Boice, profesor psikologi dari State University of New York dan Ferdinand Jones, profesor psikologi dari Brown University, dalam kajiannya berjudul “Why Academians Don’t Write” di Journal of Higher Education (Sept/Oktober 1984), menunjukkan bahwa aktivitas menulis yang rendah juga penyakit kronis kalangan akademisi AS. Sebab aktivitas menulis memanglah bukan hal yang sederhana bagi mereka !

Kendala umum yang berhasil disidik dalam riset mereka, antara lain, tiadanya daya dorong, momentum untuk menulis, tuntutan tugas mengajar dan administratif yang menghalangi aktivitas menulis, kekurangan waktu, macet menulis (writing block) sampai kuatnya anggapan bahwa menulis sebagai penyakit patologis.

Yang paling mengentak adalah pernyataan bahwa menulis itu secara inheren memang sulit. Repotnya lagi, banyak orang meremehkan persyaratan tertentu yang diperlukan dalam kegiatan menulis.

Pertama, menulis bukan keterampilan mekanis seperti mengetik, yang merupakan aktivitas menuangkan ide ke atas kertas. Menulis menuntut persyaratan lebih dari itu, yakni keterampilan dalam menjelaskan sesuatu ide dan menjelajahi kaitan yang ada di antara pelbagai ide-ide tersebut.

Kedua, kegiatan menulis menuntut perhatian amat khusus. Menulis itu melelahkan, karena penulis dituntut memfokuskan perhatian secara terus-menerus ke arah sebuah pekerjaan kompleks yang digenggamnya. Kontrol diri harus dilakukan secara disiplin dan ia pun harus pula memperhatikan adanya perbedaan khusus sasarannya, yakni pembaca dan bukan pendengar. Sebab menulis secara cermat menuntut secara mencolok adanya standar yang jauh berbeda dibanding kegiatan berbicara.

Ketiga, karena keterampilan menulis umumnya sulit difahami maka para penulis seringkali menamakan menulis sebagai ritus yang sarat bumbu misteri. Kisah tingkah nyentrik sastrawan terkenal dan pelbagai rumor yang dihubungkan dengan kegiatan menulisnya, misalnya seperti tidak mampunya seorang sastrawan menulis sebelum membaui apel busuk sampai kisah a la Victor Hugo yang harus telanjang bulat di kamar sebelum menulis, merupakan cerita yang memperkuat citra bahwa kegiatan menulis merupakan ritus yang sangar dan misterius.

Keempat, kuatnya hambatan eksternal yang juga membuat kegiatan menulis semakin terasa sulit. Misalnya, tingginya persentase penolakan untuk dimuat, lamanya menunggu pemuatan, keterbatasan pembaca media yang bersangkutan dan ancaman kritik yang membuat ciut nyali seseorang untuk menulis. Penyebab lain, menyangkut parahnya defisiensi dalam pengajaran menulis di bangku pendidikan.

Keparahan itu misalnya dapat disimak dari kuatnya anggapan bahwa keterampilan menulis itu merupakan hasil belajar sendiri, atau bakat, sehingga menyuburkan asumsi bahwa penulis yang baik itu dilahirkan dan tidak diciptakan.

Hambatan sosio-kultural seperti diskriminasi terselubung untuk kalangan akademisi perempuan atau etnis/suku tertentu, kebijaksanaan redaksi yang kurang fair seperti mementingkan tulisan para kolega (KKN) dan hanya memuat tulisan yang mencocoki apa yang dianutnya, status afiliasi penulis yang kurang disukai dan makin meningkatnya persyaratan kuantitas atau jumlah tulisan yang diperlukan untuk keperluan sesuatu promosi (cum), termasuk sebagai kendala signifikan yang berpengaruh bagi yang bersangkutan dalam menulis untuk keperluan dipublikasikan.

Media Internet sebagai solusi. Boice dan Jones menawarkan solusi. Antara lain, langkah demokratisasi dalam proses publikasi ilmiah merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh guna menggairahkan para akademisi untuk menulis. Yakni keterbukaan keanggotaan panel keredaksian dan tinjauan (review) sesuatu jurnal ilmiah.

Cara lainnya, menyediakan kolom khusus untuk memuat tulisan penulis baru dan memberikan bimbingan. Komentar redaksi dalam mengembalikan tulisan yang belum dapat dimuat seyogyanya berupa tinjauan kritis, disertai dorongan dan saran untuk perbaikan. Solusi yang tak kalah mendesak adalah upaya meningkatkan pengajaran keterampilan menulis di pelbagai jenjang pendidikan.

Tidak kalah pentingnya, hadirnya jurnal-jurnal elektronik berupa beragam situs web dan blog di Internet jelas pula menawarkan kemungkinan baru untuk mengeksplorasi kebutuhan menulis seseorang. Media mutakhir tersebut sangat mengurangi kendala yang selama ini kental mengganjal kalangan akademisi dalam mempublikasikan karyanya.

Sebab kini menulis dapat dilakukan dengan gaya informal, yang menjadikan menulis menjadi lebih mudah. Juga karena tidak terbatasnya halaman yang tersedia membuat pelbagai jurnal elektronik tersebut mengendorkan keketatan sensornya dalam menerima sumbangan tulisan.

Bahkan kini seseorang dapat menerbitkan jurnal pribadinya dalam situs web pribadi/blog di Internet, berapa pun judul yang ingin ia kehendaki. Situs-situs blog itu membuat kegiatan menulis tidak lagi elitis, ranah sebagian kecil akademisi atau ilmuwan tertentu.

Media blog mendemokratisasikan semua fihak untuk mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan dalam bentuk tertulis tanpa perlu terjerat kaidah-kaidah menulis untuk keperluan publikasi yang ketat dan sulit ditembus seperti selama ini.

Resep jitu awet muda. Apakah pelbagai hambatan serupa juga menyelimuti kalangan pustakawan Indonesia, sehingga hanya super sedikit yang menulis, baik di media-media konvensional atau pun media-media maya selama ini ?

Ini imbauan pribadi. Rekan-rekan sejawat saya, yang dulu pernah sama-sama mereguki oasis informasi kepustakawanan di bangku kuliah atau pun berbakti di lahan profesi, kini banyak dari mereka yang sudah atau bersiap memasuki masa-masa pensiun. Mereka-mereka itu yang secara teoritis memiliki waktu lebih luang, juga memiliki kesempatan terbaik untuk berefleksi, alangkah baiknya, ini imbauan saya, agar mereka sudi mulai menulis.

Tentu saja, menulis mengenai perjalanan hidup mereka sendiri. Ada nasehat seorang Bruce Schechter untuk bisa Anda camkan. Ia penulis sains bergelar Ph.D Fisika yang tinggal di New York, menulis artikel berjudul “Why time flies and how to slow down” di majalah McCall’s (10/1991). Artikel itu saya temukan di Perpustakaan LIA Jakarta, 14 Mei 1992.

Secara komplit tulisan itu bisa Anda klik di sini. Ada nasehat dirinya yang menarik, bahwa upaya mengerem laju jarum jam itu tidak hanya berlaku untuk masa kini, tetapi juga ketika meninjau masa lalu kita.

Dengan menulis buku harian, menulis otobiografi dan menulis blog, merupakan cara bagus untuk menyortir kekaburan masa-masa lalu. Sehingga masa lalu tidak lagi hanya berupa satu gumpal campur aduk segala hal tanpa makna.

Masa-masa lalu tersebut dapat Anda urai untuk membentuk pola tertentu yang membahagiakan, membanggakan, baik susunan yang terdiri dari kejadian atau pun prestasi-prestasi tertentu.

“Mendekati usia 65 tahun”, begitu tutur Bruce Schechter, “ayah saya memulai menulis kenangan hidupnya.” Ia semula beranggapan tulisan itu hanya pendek saja, tetapi ternyata tiap kenangan itu beranak pinak dengan kenangan lainnya. Karya tulisnya kemudian membengkak memenuhi sebuah buku.

Anak-anaknya kemudian membelikannya sebuah computer. Kini tulisan kenangan tersebut mencapai 400 halaman yang menghadirkan pola kehidupan yang telah ia lalui, betapa indah dan ajaib kehidupan yang telah ia jalani.”

Sebagai imbauan penutup, seorang Oscar Wilde (1854–1900), dramawan dan penyair Inggris-Irlandia, pernah berujar : “Anybody can make history. Only a great man can write it.” Semua orang mampu menorehkan sejarah. Hanya orang-orang besar saja yang mampu menuliskannya.

Dunia menunggu para orang besar itu muncul dan hadir dari profesi kepustakawanan. Andakah orangnya ?


Wonogiri, 9/7/2011