Jumat, 15 Juli 2011

Manol, Pustakawan dan Kemunafikan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Transportasi. Itulah dunia kehidupan sebagian dari warga kampung Kajen, kampung domisili saya di Wonogiri. Hampir setiap rumah memiliki anggota keluarga yang bekerjadi bidang transportasi. Utamanya bis.

Ada yang menjadi pemilik, tetapi sebagian besar bekerja sebagai supir, kondektur atau mekanik. Dua adik ipar saya, juga bekerja di kancah yang sama. Sehingga bila berada di terminal bis, baik misalnya di Tangerang, Bogor, Pulogadung sampai Kampung Rambutan, tak jarang kami sesama warga Kajen akan saling bertegur sapa.

Saya tidak tahu apakah ada warga kampung Kajen yang bekerja sebagai manol. Saya juga tidak tahu asal-muasal sebutan ini. Manol fungsinya, kurang-lebih, dapat disamakan dengan traffic announcer dalam dunia penerbangan. Mereka bertugas memberitahu kepada penumpang tentang lalu-lintas pesawat terbang di bandar udara.

Tetapi yang pasti, para manol itu lebih tepat disebut sebagai calo bis. Lahan kerja para manol tersebut, tentu saja, di terminal atau di pos-pos pemberhentian bis di jalanan. Mereka memberitahukan kepada calon penumpang tentang bis-bis jurusan tertentu yang akan segera berangkat.

Bahkan dalam masa ramai penumpang, misalnya menjelang saat-saat musim mudik Lebaran, tak jarang mereka melakukan pemaksaan kepada calon penumpang. Karena setiap kepala penumpang yang bisa ia ajak naik ke sesuatu bis, akan ada imbalannya.

Perpustakaan, secara sembrono, mungkin dapat diibaratkan sebagai terminal bis. Koleksi atau bahan pustaka merupakan jajaran bis-bis yang menunggu untuk ditumpangi para pembacanya atau klien perpustakaan, untuk menuju destinasi tertentu. Para pustakawan adalah para manol tersebut.

Dalam konteks pengelolaan perpustakaan di Indonesia, boleh jadi dapat kita catat adanya satu lagi kesamaan antara pustakawan dan manol tersebut. Kesamaan yang bila meminjam kata-kata favorit presiden SBY, merupakan kesamaan yang memprihatinkan.

Karena kedua profesi itu semata mengandalkan omdo, bersemangat mengampanyekan destinasi tiap-tiap bus atau bahan pustaka yang tersedia, tetapi mereka senantiasa tidak pernah ikut menumpanginya untuk menuju tujuan yang selalu mereka gembar-gemborkan !

Ini kewajaran atau justru kemunafikan ?


Wonogiri, 16/7/2011

Buku, Wartawan dan Impotennya Pustakawan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Surat kabar The Rocky Mountain News berhenti terbit. Februari 2009. Menjelang usianya yang ke-150 tahun.

“Ketika sebuah surat kabar mati, hanya ada sedikit yang bisa diingat. Koran kami, koran harian. Jurnalisme, seperti banyak kata orang, adalah sejarah yang ditulis secara buru-buru, ketika berita siap dicetak, menjelang jatuhnya tenggat. Surat kabar tidak dimaksudkan menjadi abadi. Ia hadir sebagai kebenaran untuk hari itu, untuk momen itu.”

Tenggorokan saya ikut tercekat ketika membaca tulisan Mike Littwin, wartawannya, yang berjudul “Not just closing doors, but dying” itu. Dan ketika harian Kompas Jawa Tengah berhenti terbit di penghujung tahun 2010, isi tulisan Mike Littwin itu kembali berenang-renang dalam kepala saya.

Ini kabar buruk. Ini kabar menyedihkan. Karena sebagai kaum epistoholik, saya dan kami bakal kehilangan media untuk berekspresi, untuk beropini, untuk berkiprah menyuarakan keluh kesah atau pun kritik warga negara sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi.

Mungkin penutupan koran itu jauh lebih menyedihkan bagi para wartawan koran bersangkutan. Karena panggung tempat mereka berekspresi telah runtuh dan menghilang. Tetapi arsip-arsip karya mereka, semoga saja, masih dilestarikan di perpustakaan. Mike Littwin masih bisa mengenang hal indah itu, dengan berkisah :

“Saya maniak surat kabar. Newspaper junkie. Saya senantiasa menghabiskan waktu hidup saya untuk menenggelamkan diri di lantai dasar gedung perpustakaan, tempat di mana sering disebut sebagai kuburan koran-koran, karena menghimpun koran-koran yang sudah tidak terbit lagi.

Saya membaca-baca peristiwa yang diliput secara kontemporer tanpa menunggu kemewahan hasil dan waktu yang dihasilkan sebagai kajian para sejarawan.

Ketika Bob Dylan pindah ke New York dari Minnesota, ia menghabiskan seluruh masa musim dingin di Perpustakaan Umum New York. Ia membaca-baca surat kabar, bukan buku-buku, yang berisi peristiwa mengenai Perang Sipil. Dan ketika ia menuliskan lagu-lagunya, isinya terinspirasi dari isi koran-koran lama bersangkutan.”

Di Perpustakaan Wonogiri, koran-koran itu dibundel dan bertumpuk-tumpuk di gudang. Sering juga tidak lengkap. Suatu saat, gudang itu pasti akan penuh. Mungkin koran-koran itu akan diloakkan.

Setiap hari, petugas perpustakaan mencatat berita tentang Wonogiri dalam buku besar. Tulis tangan. Data yang tercatat meliputi judul berita, nama koran, halaman, dan tanggal pemuatan. Untuk pencarian kembali, akses yang paling mungkin adalah Anda harus mengingat tanggal pemuatannya. Persyaratan yang teramat sulit.

Saya pernah mengusulkan, pencatatan itu sebaiknya dilakukan dengan komputer. Jadi relatif mudah ditemukan. Kepada stafnya yang rada melek Internet, saya sarankan daftar itu diunggah sebagai artikel di blog.

“Bisa ditulis dalam bentuk anotasi, atau lebih baik disalin secara lengkap. Jadi informasi ini akan bisa diakses dari seluruh dunia, karena koran-koran kita cenderung menghapus dari pangkalan data mereka sesudah berita itu satu bulan terpajang di situsnya.”

Saran itu saya kirim lewat email. Karena sebagai konsumen perpustakaan (“di Wonogiri sangat sedikit yang mengenal saya sebagai orang yang pernah belajar ilmu perpustakaan :-(. Sebagian mengenal secara keliru saya sebagai wartawan. Tetapi banyak sekali yang mengenal diri saya sebagai orang pengangguran”), rasanya tidak enak menyuruh-nyuruh para pegawai negeri untuk melakukan sesuatu hal. Saya toh bukan atasan mereka. Entah dibaca atau tidak, email saya itu tidak ada tanggapan.

Derita orang kasim. Para wartawan yang korannya tewas, sebenarnya masih terbuka peluang namanya untuk tidak cepat-cepat terkubur dalam sejarah. Dengan menulis buku. Wartawan harian Kompas dari Triyas Kuncahyono sampai Wisnu Nugroho dengan buku yang semula berupa blog (seperti buku saya) berisi cerita-cerita ringan seputar SBY, telah memberikan keteladanan. Wartawan jelas punya keterampilan menulis, mengapa tidak dimanfaatkan secara maksimal ? Tetapi rasanya memang jauh lebih banyak wartawan yang tidak menulis buku.

Pustakawan, idealnya juga mampu menulis buku. Minimal buku tentang dirinya sendiri. Agar jejak sejarah dan kiprahnya pribadi tidak mudah terhapus oleh waktu. Mungkin contoh ini muluk-muluk, lihatlah buku-bukunya Daniel J. Boorstin, sejarawan yang kemudian menjabat sebagai Pustakawan dari Library of Congress, Amerika Serikat.

Dirujuk dari iklan klub buku di majalah-majalah favorit saya di tahun 1980-an seperti The Atlantic Monthly, Discover, Omni, Popular Science sampai Science Digest yang saya baca-baca dan pinjam dari perpustakaan Lembaga Indonesia Amerika (LIA), lalu terantuk dengan salah satu buku karya Daniel J. Boorstin. Buku yang berjudul The Discoverers ajaibnya pula, akhirnya bisa saya pinjam dari perpustakaan PDII-LIPI pada saat-saat itu pula.

Dunia telah berubah.

Termasuk dalam dunia penerbitan buku yang kini bukan sebagai barang mewah lagi. Juga tidak elitis. Teknologi print on demand memungkinkan setiap orang menerbitkan bukunya sendiri, walau hanya satu eksemplar saja. Tokoh pemikir pemasaran digital, Seth Godin, bilang : “Ini eranya pemimpin murahan.” Lalu menurutnya, menerbitkan buku sekarang ini merupakan aktivitas yang murahan pula adanya.

Tetapi penulisan buku dan pustakawan, ada hal yang agak mengusik. Dalam hal ini boleh jadi pustakawan memang kesambit kutukan yang sulit dielakkan ? Posisinya sehari-hari yang berada di tengah jubelan buku-buku dan lautan informasi, justru membuat mereka terancam berat dibekap impotensi ?

Ini bukan kesimpulan saya pribadi. Tetapi simak ujaran John Braine di surat kabar The New York Times (7/10/1962) yang berkata : “Being a writer in a library is rather like being a eunuch in a harem.

Anda setuju ?


Wonogiri, 15/7/2011

Minggu, 10 Juli 2011

Mengapa Pustakawan Indonesia Tidak Menulis ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Ethiopia lebih berjaya dibanding Indonesia dalam hal kuantitas tulisan ilmuwannya. Dalam Essays of an Information Scientist Volume I 1962-1973 (ISI Press, 1977), ilmuwan Indonesia tahun 1972 hanya mempublikasikan 13 judul di pelbagai terbitan ilmiah dunia. Posisi kita di peringkat 87 dari 150 negara.

Amerika Serikat di peringkat pertama (92.011 judul artikel), disusul Rusia (17.209), Jepang di peringkat 7 (8.473) dan India di peringkat 8 (5.144). Posisi Indonesia jauh di bawah Malaysia (peringkat 45/105 artikel), Singapura (49/78 artikel), Filipina (56/59), bahkan keok dari negeri miskin Afrika, Ethiopia, yang berada di peringkat 84 dengan 16 judul artikel !

Realitas buram lawas di atas perlu diungkap kembali sebagai garis bawah artikel “Terbitkan atau Minggirlah” dari Agus M. Irkham di Kompas Jawa Tengah (15/9/2009) yang berteriak : akademisi Indonesia, mana karya-karya ilmiahmu ?

Gugatan yang menarik. Tetapi bila kita berkaca secara global, problem kurang menulisnya para akademisi itu bukan monopoli borok akademisi Indonesia semata. Robert Boice, profesor psikologi dari State University of New York dan Ferdinand Jones, profesor psikologi dari Brown University, dalam kajiannya berjudul “Why Academians Don’t Write” di Journal of Higher Education (Sept/Oktober 1984), menunjukkan bahwa aktivitas menulis yang rendah juga penyakit kronis kalangan akademisi AS. Sebab aktivitas menulis memanglah bukan hal yang sederhana bagi mereka !

Kendala umum yang berhasil disidik dalam riset mereka, antara lain, tiadanya daya dorong, momentum untuk menulis, tuntutan tugas mengajar dan administratif yang menghalangi aktivitas menulis, kekurangan waktu, macet menulis (writing block) sampai kuatnya anggapan bahwa menulis sebagai penyakit patologis.

Yang paling mengentak adalah pernyataan bahwa menulis itu secara inheren memang sulit. Repotnya lagi, banyak orang meremehkan persyaratan tertentu yang diperlukan dalam kegiatan menulis.

Pertama, menulis bukan keterampilan mekanis seperti mengetik, yang merupakan aktivitas menuangkan ide ke atas kertas. Menulis menuntut persyaratan lebih dari itu, yakni keterampilan dalam menjelaskan sesuatu ide dan menjelajahi kaitan yang ada di antara pelbagai ide-ide tersebut.

Kedua, kegiatan menulis menuntut perhatian amat khusus. Menulis itu melelahkan, karena penulis dituntut memfokuskan perhatian secara terus-menerus ke arah sebuah pekerjaan kompleks yang digenggamnya. Kontrol diri harus dilakukan secara disiplin dan ia pun harus pula memperhatikan adanya perbedaan khusus sasarannya, yakni pembaca dan bukan pendengar. Sebab menulis secara cermat menuntut secara mencolok adanya standar yang jauh berbeda dibanding kegiatan berbicara.

Ketiga, karena keterampilan menulis umumnya sulit difahami maka para penulis seringkali menamakan menulis sebagai ritus yang sarat bumbu misteri. Kisah tingkah nyentrik sastrawan terkenal dan pelbagai rumor yang dihubungkan dengan kegiatan menulisnya, misalnya seperti tidak mampunya seorang sastrawan menulis sebelum membaui apel busuk sampai kisah a la Victor Hugo yang harus telanjang bulat di kamar sebelum menulis, merupakan cerita yang memperkuat citra bahwa kegiatan menulis merupakan ritus yang sangar dan misterius.

Keempat, kuatnya hambatan eksternal yang juga membuat kegiatan menulis semakin terasa sulit. Misalnya, tingginya persentase penolakan untuk dimuat, lamanya menunggu pemuatan, keterbatasan pembaca media yang bersangkutan dan ancaman kritik yang membuat ciut nyali seseorang untuk menulis. Penyebab lain, menyangkut parahnya defisiensi dalam pengajaran menulis di bangku pendidikan.

Keparahan itu misalnya dapat disimak dari kuatnya anggapan bahwa keterampilan menulis itu merupakan hasil belajar sendiri, atau bakat, sehingga menyuburkan asumsi bahwa penulis yang baik itu dilahirkan dan tidak diciptakan.

Hambatan sosio-kultural seperti diskriminasi terselubung untuk kalangan akademisi perempuan atau etnis/suku tertentu, kebijaksanaan redaksi yang kurang fair seperti mementingkan tulisan para kolega (KKN) dan hanya memuat tulisan yang mencocoki apa yang dianutnya, status afiliasi penulis yang kurang disukai dan makin meningkatnya persyaratan kuantitas atau jumlah tulisan yang diperlukan untuk keperluan sesuatu promosi (cum), termasuk sebagai kendala signifikan yang berpengaruh bagi yang bersangkutan dalam menulis untuk keperluan dipublikasikan.

Media Internet sebagai solusi. Boice dan Jones menawarkan solusi. Antara lain, langkah demokratisasi dalam proses publikasi ilmiah merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh guna menggairahkan para akademisi untuk menulis. Yakni keterbukaan keanggotaan panel keredaksian dan tinjauan (review) sesuatu jurnal ilmiah.

Cara lainnya, menyediakan kolom khusus untuk memuat tulisan penulis baru dan memberikan bimbingan. Komentar redaksi dalam mengembalikan tulisan yang belum dapat dimuat seyogyanya berupa tinjauan kritis, disertai dorongan dan saran untuk perbaikan. Solusi yang tak kalah mendesak adalah upaya meningkatkan pengajaran keterampilan menulis di pelbagai jenjang pendidikan.

Tidak kalah pentingnya, hadirnya jurnal-jurnal elektronik berupa beragam situs web dan blog di Internet jelas pula menawarkan kemungkinan baru untuk mengeksplorasi kebutuhan menulis seseorang. Media mutakhir tersebut sangat mengurangi kendala yang selama ini kental mengganjal kalangan akademisi dalam mempublikasikan karyanya.

Sebab kini menulis dapat dilakukan dengan gaya informal, yang menjadikan menulis menjadi lebih mudah. Juga karena tidak terbatasnya halaman yang tersedia membuat pelbagai jurnal elektronik tersebut mengendorkan keketatan sensornya dalam menerima sumbangan tulisan.

Bahkan kini seseorang dapat menerbitkan jurnal pribadinya dalam situs web pribadi/blog di Internet, berapa pun judul yang ingin ia kehendaki. Situs-situs blog itu membuat kegiatan menulis tidak lagi elitis, ranah sebagian kecil akademisi atau ilmuwan tertentu.

Media blog mendemokratisasikan semua fihak untuk mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan dalam bentuk tertulis tanpa perlu terjerat kaidah-kaidah menulis untuk keperluan publikasi yang ketat dan sulit ditembus seperti selama ini.

Resep jitu awet muda. Apakah pelbagai hambatan serupa juga menyelimuti kalangan pustakawan Indonesia, sehingga hanya super sedikit yang menulis, baik di media-media konvensional atau pun media-media maya selama ini ?

Ini imbauan pribadi. Rekan-rekan sejawat saya, yang dulu pernah sama-sama mereguki oasis informasi kepustakawanan di bangku kuliah atau pun berbakti di lahan profesi, kini banyak dari mereka yang sudah atau bersiap memasuki masa-masa pensiun. Mereka-mereka itu yang secara teoritis memiliki waktu lebih luang, juga memiliki kesempatan terbaik untuk berefleksi, alangkah baiknya, ini imbauan saya, agar mereka sudi mulai menulis.

Tentu saja, menulis mengenai perjalanan hidup mereka sendiri. Ada nasehat seorang Bruce Schechter untuk bisa Anda camkan. Ia penulis sains bergelar Ph.D Fisika yang tinggal di New York, menulis artikel berjudul “Why time flies and how to slow down” di majalah McCall’s (10/1991). Artikel itu saya temukan di Perpustakaan LIA Jakarta, 14 Mei 1992.

Secara komplit tulisan itu bisa Anda klik di sini. Ada nasehat dirinya yang menarik, bahwa upaya mengerem laju jarum jam itu tidak hanya berlaku untuk masa kini, tetapi juga ketika meninjau masa lalu kita.

Dengan menulis buku harian, menulis otobiografi dan menulis blog, merupakan cara bagus untuk menyortir kekaburan masa-masa lalu. Sehingga masa lalu tidak lagi hanya berupa satu gumpal campur aduk segala hal tanpa makna.

Masa-masa lalu tersebut dapat Anda urai untuk membentuk pola tertentu yang membahagiakan, membanggakan, baik susunan yang terdiri dari kejadian atau pun prestasi-prestasi tertentu.

“Mendekati usia 65 tahun”, begitu tutur Bruce Schechter, “ayah saya memulai menulis kenangan hidupnya.” Ia semula beranggapan tulisan itu hanya pendek saja, tetapi ternyata tiap kenangan itu beranak pinak dengan kenangan lainnya. Karya tulisnya kemudian membengkak memenuhi sebuah buku.

Anak-anaknya kemudian membelikannya sebuah computer. Kini tulisan kenangan tersebut mencapai 400 halaman yang menghadirkan pola kehidupan yang telah ia lalui, betapa indah dan ajaib kehidupan yang telah ia jalani.”

Sebagai imbauan penutup, seorang Oscar Wilde (1854–1900), dramawan dan penyair Inggris-Irlandia, pernah berujar : “Anybody can make history. Only a great man can write it.” Semua orang mampu menorehkan sejarah. Hanya orang-orang besar saja yang mampu menuliskannya.

Dunia menunggu para orang besar itu muncul dan hadir dari profesi kepustakawanan. Andakah orangnya ?


Wonogiri, 9/7/2011

Selasa, 05 Juli 2011

Pustakawan, Keledai, dan Bias Pegawai Negeri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Bau belerang. Diego Bunuel sampai juga di Venezuela. Pria Perancis yang menjadi host acara menarik “Don’t Tell My Mother” di saluran National Geographic Channel telah mengobok-obok beragam hal unik dari negerinya Hugo Chavez tersebut.

Sekadar mengingat, presiden beraliran garis keras sosialis yang akhir-akhir ini dibicarakan karena mengidap kanker, pernah menjuluki George W. Bush sebagai setan. Tak main-main, umpatan itu ia lontarkan di siding Majelis Umum PBB, September 2006. Sehari setelah presiden AS itu berpidato di PBB, Chavez menyatakan, “Setan telah datang kesini, kemarin. Dan bau belerangnya masih menguar sampai saat ini.”

Bahkan Hugo Chavez katakan, Bush berpidato kemarin itu seolah ia yang memiliki dunia dan para psikiater harus menganalisisnya. “Sebagai juru bicara imperialisme, ia datang berbagi obat ajaibnya untuk mempertahankan pola dominasi, eksploitasi dan aksi penjarahannya terhadap warga dunia. Dan film-film Alfred Hitchcock dapat menggunakannya sebagai skenario. Bahkan saya ajukan judulnya “Resep Setan.”

Chavez berpidato sambil mengacung-acungkan buku karya linguis dan aktivis politik AS terkenal Noam Chomsky yang berjudul Hegemony or Survival: America's Quest for Global Dominance, dan ia merekomendasikan peserta Sidang Umum PBB dan rakyat AS untuk membacanya.

“Kerajaan Amerika berusaha sekuat tenaga untuk mengkonsolidasikan sistem dominasi kekuatan hegemoninya dan kita harus mencegahnya. Kita tidak ingin dikator dunia itu mengkonsolidasikan kekuatannya !”

Imbuh Chavez : “Rakyat AS harus membaca buku ini, ketimbang menonton film Superman.” Imbauan itu ampuh. Buku yang terbit tahun 2003 tersebut sontak meroket sehingga masuk dalam daftar 10 buku laris dari daftar Amazon.com dan juga Barnes & Nobel.com. Untuk Anda yang sudah membaca buku saya Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania,2010), mohon maaf, cerita pada halaman 145-152 itu saya cuplik lagi untuk dipajang kembali di sini.

Cerita lain kaitan antara buku dan Venezuela, juga disajikan secara menarik dalam liputan Diego Bunuel. Ia dikisahkan terengah-engah mengikuti dua petugas yang menaiki keledai mendaki Pegunungan Andes untuk menuju satu desa terpencil.

Kedua orang petugas itu sedang menjalankan program, entah dijalankan oleh pemerintah atau LSM, yang disebut sebagai Biblio Mulas. Perpustakaan Keledai. Seperti halnya kiprah perpustakaan keliling yang bermobil, mereka memakai keledai untuk membawa buku-buku bagi klien perpustakaan yang bertempat tinggal di desa pada punggung pegunungan Andes itu.

Sungguh mengharukan melihat anak-anak gunung itu yang nampak berbinar-binar wajahnya ketika saling berebutan memilih buku yang baru diturunkan dari punggung kedua keledai itu.

PNS Sentris. Apakah kedua petugas itu merupakan pegawai negeri Venezuela ? Atau relawan ? Saya tidak dapat memastikan. Tetapi ditilik dari pakaiannya, mereka tidak mengenakan pakaian seragam. Tidak pula memakai badge, emblim atau topi yang mengesankan sebagai pegawai negeri.

Kiprah petugas atau relawan dari Venezuela dalam program Perpustakaan Keledai itu dan topik pegawai negeri, tiba-tiba kok mengusik benak saya akhir-akhir ini. Kemudian memicu sinyalemen yang saya tahu, sangat sembrono. dan mungkin jauh dari akurat. Boleh jadi kesan ini juga keliru beratus-ratus persen.

Namun, semoga saya diijinkan untuk berpendapat : rasa-rasanya aura perbincangan tentang perpustakaan dan profesi pustakawan di Indonesia selama ini nampak bias. Bahwa perpustakaan yang selalu dibincangkan adalah perpustakaan, entah sekolah, perguruan tinggi sampai umum, yang ditangani oleh pemerintah. Lalu tentang pustakawannya, fokus permasalahan yang diobrolkan kebanyakan dalam koridor diri mereka sebagai pegawai negeri. Alhasil, kisah perpustakaan keledai negerinya Hugo Chavez itu bila di Indonesia boleh jadi tidak menjadi cerita apa-apa di media kita.

Bias PNS-sentris di negeri kita ini boleh jadi begitu kuat. Sehingga dalam setiap kali ada acara ngerumpi antarpustakawan, rasanya kabut pola pikir sebagai pegawai negeri itu terasa pekat mendominasi. Misalnya, solusi untuk tiap-tiap persoalan yang membelit perpustakaan dan profesi pustakawan, mereka selalu saja menunjuk ke atas sebagai juru selamat. Kepada big brother. Kepada pemerintah.

Bagi saya, itu fenomena rada aneh. Di kolom surat pembaca harian Kompas Jawa Tengah (Jumat, 31 Desember 2004), sebagai seorang epistoholik ("sebagai pustakawan, Anda pernah mempromosikan jasa atau aspirasi Anda untuk kemajuan perpustakaan melalui kolom surat-surat pembaca ?"), saya telah menulis :

“Para cendekia telah mencatat, betapa postmodernisme dipercaya telah melakukan dekonstruksi terhadap dominasi atau hegemoni negara. Kini negara bukan lagi diterima sebagai satu-satunya kekuasaan yang sah. Hegemoni seperti itu sudah lewat, sebab sekarang sentra legitimasi sudah menyebar kemana-mana, dan kehidupan pun berubah menjadi majemuk.

Perkembangan tersebut di Indonesia semakin dipercepat karena rendahnya prestasi negara dan pemerintahan dalam memenuhi pelayanan kepada masyarakat secara baik, di bidang ekonomi, keamanan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.

Merespons aksi pemerintah yang banyak gagal itu maka masyarakat tidak dapat dibendung untuk tidak mencari solusinya sendiri. Mereka tidak memberontak kepada negara, tetapi bersikap lupakanlah negara, lupakanlah pemerintah, marilah kita bertindak.

Oleh sosiolog hukum Satjipto Rahardjo, gerakan di atas disebut sebagai kekuatan sosial otentik dalam masyarakat yang tidak ingin larut dalam keterpurukan. Kini gerakan itu sedang menggeliat, bergerak dan makin kuat, dan harus kita jaga dan memupuknya sehingga menjadi kekuatan alternatif di luar pemerintahan.

Tetapi di masyarakat kita juga terjadi anomali. Bahkan ironi. Pemerintahan yang gagal itu ternyata tetap mempunyai magnet kuat. Sekedar contoh, terjadi di Solo : lowongan pegawai negeri sipil yang hanya 200-300-an posisi, telah diserbu sampai enam puluhan ribu pelamar. Realitas itu mengentak kita. Ada apa dengan anak-anak muda kita ?

Mengapa mereka antusias ingin menjadi pegawai negeri yang selalu dicitrakan sebagai pekerja yang lamban, birokratis, dan juga korup itu ?

Apakah badai reformasi yang membuat semua sendi kehidupan jadi labil, gonjang-ganjing, justru mendorong mereka untuk mencari tempat berlindung yang ia rasa aman, dengan menjadi pegawai negeri ? Kalau anak-anak muda saja tidak berani ambil resiko, lalu dari siapa kita mampu berharap adanya perubahan ?”

Apakah pertanyaan saya di atas juga relevan ditujukan untuk kalangan pustakawan Indonesia ?

Sumber foto : http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/01412/Horse-library_1412802i.jpg

Wonogiri, 6/7/2011