Jumat, 15 Juli 2011

Manol, Pustakawan dan Kemunafikan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Transportasi. Itulah dunia kehidupan sebagian dari warga kampung Kajen, kampung domisili saya di Wonogiri. Hampir setiap rumah memiliki anggota keluarga yang bekerjadi bidang transportasi. Utamanya bis.

Ada yang menjadi pemilik, tetapi sebagian besar bekerja sebagai supir, kondektur atau mekanik. Dua adik ipar saya, juga bekerja di kancah yang sama. Sehingga bila berada di terminal bis, baik misalnya di Tangerang, Bogor, Pulogadung sampai Kampung Rambutan, tak jarang kami sesama warga Kajen akan saling bertegur sapa.

Saya tidak tahu apakah ada warga kampung Kajen yang bekerja sebagai manol. Saya juga tidak tahu asal-muasal sebutan ini. Manol fungsinya, kurang-lebih, dapat disamakan dengan traffic announcer dalam dunia penerbangan. Mereka bertugas memberitahu kepada penumpang tentang lalu-lintas pesawat terbang di bandar udara.

Tetapi yang pasti, para manol itu lebih tepat disebut sebagai calo bis. Lahan kerja para manol tersebut, tentu saja, di terminal atau di pos-pos pemberhentian bis di jalanan. Mereka memberitahukan kepada calon penumpang tentang bis-bis jurusan tertentu yang akan segera berangkat.

Bahkan dalam masa ramai penumpang, misalnya menjelang saat-saat musim mudik Lebaran, tak jarang mereka melakukan pemaksaan kepada calon penumpang. Karena setiap kepala penumpang yang bisa ia ajak naik ke sesuatu bis, akan ada imbalannya.

Perpustakaan, secara sembrono, mungkin dapat diibaratkan sebagai terminal bis. Koleksi atau bahan pustaka merupakan jajaran bis-bis yang menunggu untuk ditumpangi para pembacanya atau klien perpustakaan, untuk menuju destinasi tertentu. Para pustakawan adalah para manol tersebut.

Dalam konteks pengelolaan perpustakaan di Indonesia, boleh jadi dapat kita catat adanya satu lagi kesamaan antara pustakawan dan manol tersebut. Kesamaan yang bila meminjam kata-kata favorit presiden SBY, merupakan kesamaan yang memprihatinkan.

Karena kedua profesi itu semata mengandalkan omdo, bersemangat mengampanyekan destinasi tiap-tiap bus atau bahan pustaka yang tersedia, tetapi mereka senantiasa tidak pernah ikut menumpanginya untuk menuju tujuan yang selalu mereka gembar-gemborkan !

Ini kewajaran atau justru kemunafikan ?


Wonogiri, 16/7/2011

Buku, Wartawan dan Impotennya Pustakawan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Surat kabar The Rocky Mountain News berhenti terbit. Februari 2009. Menjelang usianya yang ke-150 tahun.

“Ketika sebuah surat kabar mati, hanya ada sedikit yang bisa diingat. Koran kami, koran harian. Jurnalisme, seperti banyak kata orang, adalah sejarah yang ditulis secara buru-buru, ketika berita siap dicetak, menjelang jatuhnya tenggat. Surat kabar tidak dimaksudkan menjadi abadi. Ia hadir sebagai kebenaran untuk hari itu, untuk momen itu.”

Tenggorokan saya ikut tercekat ketika membaca tulisan Mike Littwin, wartawannya, yang berjudul “Not just closing doors, but dying” itu. Dan ketika harian Kompas Jawa Tengah berhenti terbit di penghujung tahun 2010, isi tulisan Mike Littwin itu kembali berenang-renang dalam kepala saya.

Ini kabar buruk. Ini kabar menyedihkan. Karena sebagai kaum epistoholik, saya dan kami bakal kehilangan media untuk berekspresi, untuk beropini, untuk berkiprah menyuarakan keluh kesah atau pun kritik warga negara sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi.

Mungkin penutupan koran itu jauh lebih menyedihkan bagi para wartawan koran bersangkutan. Karena panggung tempat mereka berekspresi telah runtuh dan menghilang. Tetapi arsip-arsip karya mereka, semoga saja, masih dilestarikan di perpustakaan. Mike Littwin masih bisa mengenang hal indah itu, dengan berkisah :

“Saya maniak surat kabar. Newspaper junkie. Saya senantiasa menghabiskan waktu hidup saya untuk menenggelamkan diri di lantai dasar gedung perpustakaan, tempat di mana sering disebut sebagai kuburan koran-koran, karena menghimpun koran-koran yang sudah tidak terbit lagi.

Saya membaca-baca peristiwa yang diliput secara kontemporer tanpa menunggu kemewahan hasil dan waktu yang dihasilkan sebagai kajian para sejarawan.

Ketika Bob Dylan pindah ke New York dari Minnesota, ia menghabiskan seluruh masa musim dingin di Perpustakaan Umum New York. Ia membaca-baca surat kabar, bukan buku-buku, yang berisi peristiwa mengenai Perang Sipil. Dan ketika ia menuliskan lagu-lagunya, isinya terinspirasi dari isi koran-koran lama bersangkutan.”

Di Perpustakaan Wonogiri, koran-koran itu dibundel dan bertumpuk-tumpuk di gudang. Sering juga tidak lengkap. Suatu saat, gudang itu pasti akan penuh. Mungkin koran-koran itu akan diloakkan.

Setiap hari, petugas perpustakaan mencatat berita tentang Wonogiri dalam buku besar. Tulis tangan. Data yang tercatat meliputi judul berita, nama koran, halaman, dan tanggal pemuatan. Untuk pencarian kembali, akses yang paling mungkin adalah Anda harus mengingat tanggal pemuatannya. Persyaratan yang teramat sulit.

Saya pernah mengusulkan, pencatatan itu sebaiknya dilakukan dengan komputer. Jadi relatif mudah ditemukan. Kepada stafnya yang rada melek Internet, saya sarankan daftar itu diunggah sebagai artikel di blog.

“Bisa ditulis dalam bentuk anotasi, atau lebih baik disalin secara lengkap. Jadi informasi ini akan bisa diakses dari seluruh dunia, karena koran-koran kita cenderung menghapus dari pangkalan data mereka sesudah berita itu satu bulan terpajang di situsnya.”

Saran itu saya kirim lewat email. Karena sebagai konsumen perpustakaan (“di Wonogiri sangat sedikit yang mengenal saya sebagai orang yang pernah belajar ilmu perpustakaan :-(. Sebagian mengenal secara keliru saya sebagai wartawan. Tetapi banyak sekali yang mengenal diri saya sebagai orang pengangguran”), rasanya tidak enak menyuruh-nyuruh para pegawai negeri untuk melakukan sesuatu hal. Saya toh bukan atasan mereka. Entah dibaca atau tidak, email saya itu tidak ada tanggapan.

Derita orang kasim. Para wartawan yang korannya tewas, sebenarnya masih terbuka peluang namanya untuk tidak cepat-cepat terkubur dalam sejarah. Dengan menulis buku. Wartawan harian Kompas dari Triyas Kuncahyono sampai Wisnu Nugroho dengan buku yang semula berupa blog (seperti buku saya) berisi cerita-cerita ringan seputar SBY, telah memberikan keteladanan. Wartawan jelas punya keterampilan menulis, mengapa tidak dimanfaatkan secara maksimal ? Tetapi rasanya memang jauh lebih banyak wartawan yang tidak menulis buku.

Pustakawan, idealnya juga mampu menulis buku. Minimal buku tentang dirinya sendiri. Agar jejak sejarah dan kiprahnya pribadi tidak mudah terhapus oleh waktu. Mungkin contoh ini muluk-muluk, lihatlah buku-bukunya Daniel J. Boorstin, sejarawan yang kemudian menjabat sebagai Pustakawan dari Library of Congress, Amerika Serikat.

Dirujuk dari iklan klub buku di majalah-majalah favorit saya di tahun 1980-an seperti The Atlantic Monthly, Discover, Omni, Popular Science sampai Science Digest yang saya baca-baca dan pinjam dari perpustakaan Lembaga Indonesia Amerika (LIA), lalu terantuk dengan salah satu buku karya Daniel J. Boorstin. Buku yang berjudul The Discoverers ajaibnya pula, akhirnya bisa saya pinjam dari perpustakaan PDII-LIPI pada saat-saat itu pula.

Dunia telah berubah.

Termasuk dalam dunia penerbitan buku yang kini bukan sebagai barang mewah lagi. Juga tidak elitis. Teknologi print on demand memungkinkan setiap orang menerbitkan bukunya sendiri, walau hanya satu eksemplar saja. Tokoh pemikir pemasaran digital, Seth Godin, bilang : “Ini eranya pemimpin murahan.” Lalu menurutnya, menerbitkan buku sekarang ini merupakan aktivitas yang murahan pula adanya.

Tetapi penulisan buku dan pustakawan, ada hal yang agak mengusik. Dalam hal ini boleh jadi pustakawan memang kesambit kutukan yang sulit dielakkan ? Posisinya sehari-hari yang berada di tengah jubelan buku-buku dan lautan informasi, justru membuat mereka terancam berat dibekap impotensi ?

Ini bukan kesimpulan saya pribadi. Tetapi simak ujaran John Braine di surat kabar The New York Times (7/10/1962) yang berkata : “Being a writer in a library is rather like being a eunuch in a harem.

Anda setuju ?


Wonogiri, 15/7/2011

Minggu, 10 Juli 2011

Mengapa Pustakawan Indonesia Tidak Menulis ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Ethiopia lebih berjaya dibanding Indonesia dalam hal kuantitas tulisan ilmuwannya. Dalam Essays of an Information Scientist Volume I 1962-1973 (ISI Press, 1977), ilmuwan Indonesia tahun 1972 hanya mempublikasikan 13 judul di pelbagai terbitan ilmiah dunia. Posisi kita di peringkat 87 dari 150 negara.

Amerika Serikat di peringkat pertama (92.011 judul artikel), disusul Rusia (17.209), Jepang di peringkat 7 (8.473) dan India di peringkat 8 (5.144). Posisi Indonesia jauh di bawah Malaysia (peringkat 45/105 artikel), Singapura (49/78 artikel), Filipina (56/59), bahkan keok dari negeri miskin Afrika, Ethiopia, yang berada di peringkat 84 dengan 16 judul artikel !

Realitas buram lawas di atas perlu diungkap kembali sebagai garis bawah artikel “Terbitkan atau Minggirlah” dari Agus M. Irkham di Kompas Jawa Tengah (15/9/2009) yang berteriak : akademisi Indonesia, mana karya-karya ilmiahmu ?

Gugatan yang menarik. Tetapi bila kita berkaca secara global, problem kurang menulisnya para akademisi itu bukan monopoli borok akademisi Indonesia semata. Robert Boice, profesor psikologi dari State University of New York dan Ferdinand Jones, profesor psikologi dari Brown University, dalam kajiannya berjudul “Why Academians Don’t Write” di Journal of Higher Education (Sept/Oktober 1984), menunjukkan bahwa aktivitas menulis yang rendah juga penyakit kronis kalangan akademisi AS. Sebab aktivitas menulis memanglah bukan hal yang sederhana bagi mereka !

Kendala umum yang berhasil disidik dalam riset mereka, antara lain, tiadanya daya dorong, momentum untuk menulis, tuntutan tugas mengajar dan administratif yang menghalangi aktivitas menulis, kekurangan waktu, macet menulis (writing block) sampai kuatnya anggapan bahwa menulis sebagai penyakit patologis.

Yang paling mengentak adalah pernyataan bahwa menulis itu secara inheren memang sulit. Repotnya lagi, banyak orang meremehkan persyaratan tertentu yang diperlukan dalam kegiatan menulis.

Pertama, menulis bukan keterampilan mekanis seperti mengetik, yang merupakan aktivitas menuangkan ide ke atas kertas. Menulis menuntut persyaratan lebih dari itu, yakni keterampilan dalam menjelaskan sesuatu ide dan menjelajahi kaitan yang ada di antara pelbagai ide-ide tersebut.

Kedua, kegiatan menulis menuntut perhatian amat khusus. Menulis itu melelahkan, karena penulis dituntut memfokuskan perhatian secara terus-menerus ke arah sebuah pekerjaan kompleks yang digenggamnya. Kontrol diri harus dilakukan secara disiplin dan ia pun harus pula memperhatikan adanya perbedaan khusus sasarannya, yakni pembaca dan bukan pendengar. Sebab menulis secara cermat menuntut secara mencolok adanya standar yang jauh berbeda dibanding kegiatan berbicara.

Ketiga, karena keterampilan menulis umumnya sulit difahami maka para penulis seringkali menamakan menulis sebagai ritus yang sarat bumbu misteri. Kisah tingkah nyentrik sastrawan terkenal dan pelbagai rumor yang dihubungkan dengan kegiatan menulisnya, misalnya seperti tidak mampunya seorang sastrawan menulis sebelum membaui apel busuk sampai kisah a la Victor Hugo yang harus telanjang bulat di kamar sebelum menulis, merupakan cerita yang memperkuat citra bahwa kegiatan menulis merupakan ritus yang sangar dan misterius.

Keempat, kuatnya hambatan eksternal yang juga membuat kegiatan menulis semakin terasa sulit. Misalnya, tingginya persentase penolakan untuk dimuat, lamanya menunggu pemuatan, keterbatasan pembaca media yang bersangkutan dan ancaman kritik yang membuat ciut nyali seseorang untuk menulis. Penyebab lain, menyangkut parahnya defisiensi dalam pengajaran menulis di bangku pendidikan.

Keparahan itu misalnya dapat disimak dari kuatnya anggapan bahwa keterampilan menulis itu merupakan hasil belajar sendiri, atau bakat, sehingga menyuburkan asumsi bahwa penulis yang baik itu dilahirkan dan tidak diciptakan.

Hambatan sosio-kultural seperti diskriminasi terselubung untuk kalangan akademisi perempuan atau etnis/suku tertentu, kebijaksanaan redaksi yang kurang fair seperti mementingkan tulisan para kolega (KKN) dan hanya memuat tulisan yang mencocoki apa yang dianutnya, status afiliasi penulis yang kurang disukai dan makin meningkatnya persyaratan kuantitas atau jumlah tulisan yang diperlukan untuk keperluan sesuatu promosi (cum), termasuk sebagai kendala signifikan yang berpengaruh bagi yang bersangkutan dalam menulis untuk keperluan dipublikasikan.

Media Internet sebagai solusi. Boice dan Jones menawarkan solusi. Antara lain, langkah demokratisasi dalam proses publikasi ilmiah merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh guna menggairahkan para akademisi untuk menulis. Yakni keterbukaan keanggotaan panel keredaksian dan tinjauan (review) sesuatu jurnal ilmiah.

Cara lainnya, menyediakan kolom khusus untuk memuat tulisan penulis baru dan memberikan bimbingan. Komentar redaksi dalam mengembalikan tulisan yang belum dapat dimuat seyogyanya berupa tinjauan kritis, disertai dorongan dan saran untuk perbaikan. Solusi yang tak kalah mendesak adalah upaya meningkatkan pengajaran keterampilan menulis di pelbagai jenjang pendidikan.

Tidak kalah pentingnya, hadirnya jurnal-jurnal elektronik berupa beragam situs web dan blog di Internet jelas pula menawarkan kemungkinan baru untuk mengeksplorasi kebutuhan menulis seseorang. Media mutakhir tersebut sangat mengurangi kendala yang selama ini kental mengganjal kalangan akademisi dalam mempublikasikan karyanya.

Sebab kini menulis dapat dilakukan dengan gaya informal, yang menjadikan menulis menjadi lebih mudah. Juga karena tidak terbatasnya halaman yang tersedia membuat pelbagai jurnal elektronik tersebut mengendorkan keketatan sensornya dalam menerima sumbangan tulisan.

Bahkan kini seseorang dapat menerbitkan jurnal pribadinya dalam situs web pribadi/blog di Internet, berapa pun judul yang ingin ia kehendaki. Situs-situs blog itu membuat kegiatan menulis tidak lagi elitis, ranah sebagian kecil akademisi atau ilmuwan tertentu.

Media blog mendemokratisasikan semua fihak untuk mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan dalam bentuk tertulis tanpa perlu terjerat kaidah-kaidah menulis untuk keperluan publikasi yang ketat dan sulit ditembus seperti selama ini.

Resep jitu awet muda. Apakah pelbagai hambatan serupa juga menyelimuti kalangan pustakawan Indonesia, sehingga hanya super sedikit yang menulis, baik di media-media konvensional atau pun media-media maya selama ini ?

Ini imbauan pribadi. Rekan-rekan sejawat saya, yang dulu pernah sama-sama mereguki oasis informasi kepustakawanan di bangku kuliah atau pun berbakti di lahan profesi, kini banyak dari mereka yang sudah atau bersiap memasuki masa-masa pensiun. Mereka-mereka itu yang secara teoritis memiliki waktu lebih luang, juga memiliki kesempatan terbaik untuk berefleksi, alangkah baiknya, ini imbauan saya, agar mereka sudi mulai menulis.

Tentu saja, menulis mengenai perjalanan hidup mereka sendiri. Ada nasehat seorang Bruce Schechter untuk bisa Anda camkan. Ia penulis sains bergelar Ph.D Fisika yang tinggal di New York, menulis artikel berjudul “Why time flies and how to slow down” di majalah McCall’s (10/1991). Artikel itu saya temukan di Perpustakaan LIA Jakarta, 14 Mei 1992.

Secara komplit tulisan itu bisa Anda klik di sini. Ada nasehat dirinya yang menarik, bahwa upaya mengerem laju jarum jam itu tidak hanya berlaku untuk masa kini, tetapi juga ketika meninjau masa lalu kita.

Dengan menulis buku harian, menulis otobiografi dan menulis blog, merupakan cara bagus untuk menyortir kekaburan masa-masa lalu. Sehingga masa lalu tidak lagi hanya berupa satu gumpal campur aduk segala hal tanpa makna.

Masa-masa lalu tersebut dapat Anda urai untuk membentuk pola tertentu yang membahagiakan, membanggakan, baik susunan yang terdiri dari kejadian atau pun prestasi-prestasi tertentu.

“Mendekati usia 65 tahun”, begitu tutur Bruce Schechter, “ayah saya memulai menulis kenangan hidupnya.” Ia semula beranggapan tulisan itu hanya pendek saja, tetapi ternyata tiap kenangan itu beranak pinak dengan kenangan lainnya. Karya tulisnya kemudian membengkak memenuhi sebuah buku.

Anak-anaknya kemudian membelikannya sebuah computer. Kini tulisan kenangan tersebut mencapai 400 halaman yang menghadirkan pola kehidupan yang telah ia lalui, betapa indah dan ajaib kehidupan yang telah ia jalani.”

Sebagai imbauan penutup, seorang Oscar Wilde (1854–1900), dramawan dan penyair Inggris-Irlandia, pernah berujar : “Anybody can make history. Only a great man can write it.” Semua orang mampu menorehkan sejarah. Hanya orang-orang besar saja yang mampu menuliskannya.

Dunia menunggu para orang besar itu muncul dan hadir dari profesi kepustakawanan. Andakah orangnya ?


Wonogiri, 9/7/2011

Selasa, 05 Juli 2011

Pustakawan, Keledai, dan Bias Pegawai Negeri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Bau belerang. Diego Bunuel sampai juga di Venezuela. Pria Perancis yang menjadi host acara menarik “Don’t Tell My Mother” di saluran National Geographic Channel telah mengobok-obok beragam hal unik dari negerinya Hugo Chavez tersebut.

Sekadar mengingat, presiden beraliran garis keras sosialis yang akhir-akhir ini dibicarakan karena mengidap kanker, pernah menjuluki George W. Bush sebagai setan. Tak main-main, umpatan itu ia lontarkan di siding Majelis Umum PBB, September 2006. Sehari setelah presiden AS itu berpidato di PBB, Chavez menyatakan, “Setan telah datang kesini, kemarin. Dan bau belerangnya masih menguar sampai saat ini.”

Bahkan Hugo Chavez katakan, Bush berpidato kemarin itu seolah ia yang memiliki dunia dan para psikiater harus menganalisisnya. “Sebagai juru bicara imperialisme, ia datang berbagi obat ajaibnya untuk mempertahankan pola dominasi, eksploitasi dan aksi penjarahannya terhadap warga dunia. Dan film-film Alfred Hitchcock dapat menggunakannya sebagai skenario. Bahkan saya ajukan judulnya “Resep Setan.”

Chavez berpidato sambil mengacung-acungkan buku karya linguis dan aktivis politik AS terkenal Noam Chomsky yang berjudul Hegemony or Survival: America's Quest for Global Dominance, dan ia merekomendasikan peserta Sidang Umum PBB dan rakyat AS untuk membacanya.

“Kerajaan Amerika berusaha sekuat tenaga untuk mengkonsolidasikan sistem dominasi kekuatan hegemoninya dan kita harus mencegahnya. Kita tidak ingin dikator dunia itu mengkonsolidasikan kekuatannya !”

Imbuh Chavez : “Rakyat AS harus membaca buku ini, ketimbang menonton film Superman.” Imbauan itu ampuh. Buku yang terbit tahun 2003 tersebut sontak meroket sehingga masuk dalam daftar 10 buku laris dari daftar Amazon.com dan juga Barnes & Nobel.com. Untuk Anda yang sudah membaca buku saya Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania,2010), mohon maaf, cerita pada halaman 145-152 itu saya cuplik lagi untuk dipajang kembali di sini.

Cerita lain kaitan antara buku dan Venezuela, juga disajikan secara menarik dalam liputan Diego Bunuel. Ia dikisahkan terengah-engah mengikuti dua petugas yang menaiki keledai mendaki Pegunungan Andes untuk menuju satu desa terpencil.

Kedua orang petugas itu sedang menjalankan program, entah dijalankan oleh pemerintah atau LSM, yang disebut sebagai Biblio Mulas. Perpustakaan Keledai. Seperti halnya kiprah perpustakaan keliling yang bermobil, mereka memakai keledai untuk membawa buku-buku bagi klien perpustakaan yang bertempat tinggal di desa pada punggung pegunungan Andes itu.

Sungguh mengharukan melihat anak-anak gunung itu yang nampak berbinar-binar wajahnya ketika saling berebutan memilih buku yang baru diturunkan dari punggung kedua keledai itu.

PNS Sentris. Apakah kedua petugas itu merupakan pegawai negeri Venezuela ? Atau relawan ? Saya tidak dapat memastikan. Tetapi ditilik dari pakaiannya, mereka tidak mengenakan pakaian seragam. Tidak pula memakai badge, emblim atau topi yang mengesankan sebagai pegawai negeri.

Kiprah petugas atau relawan dari Venezuela dalam program Perpustakaan Keledai itu dan topik pegawai negeri, tiba-tiba kok mengusik benak saya akhir-akhir ini. Kemudian memicu sinyalemen yang saya tahu, sangat sembrono. dan mungkin jauh dari akurat. Boleh jadi kesan ini juga keliru beratus-ratus persen.

Namun, semoga saya diijinkan untuk berpendapat : rasa-rasanya aura perbincangan tentang perpustakaan dan profesi pustakawan di Indonesia selama ini nampak bias. Bahwa perpustakaan yang selalu dibincangkan adalah perpustakaan, entah sekolah, perguruan tinggi sampai umum, yang ditangani oleh pemerintah. Lalu tentang pustakawannya, fokus permasalahan yang diobrolkan kebanyakan dalam koridor diri mereka sebagai pegawai negeri. Alhasil, kisah perpustakaan keledai negerinya Hugo Chavez itu bila di Indonesia boleh jadi tidak menjadi cerita apa-apa di media kita.

Bias PNS-sentris di negeri kita ini boleh jadi begitu kuat. Sehingga dalam setiap kali ada acara ngerumpi antarpustakawan, rasanya kabut pola pikir sebagai pegawai negeri itu terasa pekat mendominasi. Misalnya, solusi untuk tiap-tiap persoalan yang membelit perpustakaan dan profesi pustakawan, mereka selalu saja menunjuk ke atas sebagai juru selamat. Kepada big brother. Kepada pemerintah.

Bagi saya, itu fenomena rada aneh. Di kolom surat pembaca harian Kompas Jawa Tengah (Jumat, 31 Desember 2004), sebagai seorang epistoholik ("sebagai pustakawan, Anda pernah mempromosikan jasa atau aspirasi Anda untuk kemajuan perpustakaan melalui kolom surat-surat pembaca ?"), saya telah menulis :

“Para cendekia telah mencatat, betapa postmodernisme dipercaya telah melakukan dekonstruksi terhadap dominasi atau hegemoni negara. Kini negara bukan lagi diterima sebagai satu-satunya kekuasaan yang sah. Hegemoni seperti itu sudah lewat, sebab sekarang sentra legitimasi sudah menyebar kemana-mana, dan kehidupan pun berubah menjadi majemuk.

Perkembangan tersebut di Indonesia semakin dipercepat karena rendahnya prestasi negara dan pemerintahan dalam memenuhi pelayanan kepada masyarakat secara baik, di bidang ekonomi, keamanan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.

Merespons aksi pemerintah yang banyak gagal itu maka masyarakat tidak dapat dibendung untuk tidak mencari solusinya sendiri. Mereka tidak memberontak kepada negara, tetapi bersikap lupakanlah negara, lupakanlah pemerintah, marilah kita bertindak.

Oleh sosiolog hukum Satjipto Rahardjo, gerakan di atas disebut sebagai kekuatan sosial otentik dalam masyarakat yang tidak ingin larut dalam keterpurukan. Kini gerakan itu sedang menggeliat, bergerak dan makin kuat, dan harus kita jaga dan memupuknya sehingga menjadi kekuatan alternatif di luar pemerintahan.

Tetapi di masyarakat kita juga terjadi anomali. Bahkan ironi. Pemerintahan yang gagal itu ternyata tetap mempunyai magnet kuat. Sekedar contoh, terjadi di Solo : lowongan pegawai negeri sipil yang hanya 200-300-an posisi, telah diserbu sampai enam puluhan ribu pelamar. Realitas itu mengentak kita. Ada apa dengan anak-anak muda kita ?

Mengapa mereka antusias ingin menjadi pegawai negeri yang selalu dicitrakan sebagai pekerja yang lamban, birokratis, dan juga korup itu ?

Apakah badai reformasi yang membuat semua sendi kehidupan jadi labil, gonjang-ganjing, justru mendorong mereka untuk mencari tempat berlindung yang ia rasa aman, dengan menjadi pegawai negeri ? Kalau anak-anak muda saja tidak berani ambil resiko, lalu dari siapa kita mampu berharap adanya perubahan ?”

Apakah pertanyaan saya di atas juga relevan ditujukan untuk kalangan pustakawan Indonesia ?

Sumber foto : http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/01412/Horse-library_1412802i.jpg

Wonogiri, 6/7/2011

Kamis, 30 Juni 2011

Pustakawan, Spirit of Life dan Ancaman Ketertutupan

Oleh : Blasius Sudarsono
Pemerhati Kepustakawanan Indonesia



Prolog. Diskusi tentang kepustakawanan selayaknya diawali dengan sebuah pertanyaan: “Apa sih yang dimaksud dengan kepustakawanan itu?” Pertanyaan ini membawa pustakawan memasuki ranah filsafat, jika menindaklanjutinya dengan pemikiran mendalam dan mendasar tentang kepustakawanan itu.

Dilihat dari kaidah bahasa, kata kepustakawanan berasal dari kata pustakawan yang mendapat afiks (imbuhan) ke – an. Tetapi kata pustakawan sendiri adalah kata turunan yang berasal dari kata pustaka yang mendapat subfiks (akhiran) wan.

Selain itu, kata dasar pustaka dapat menurunkan dua kata lain yaitu kepustakaan dan perpustakaan. Secara skematis kekerabatan lima kata itu dapat dilukiskan dengan diagram berikut.


Lima kata bersaudara itu pantas menjadi kata kunci yang harus dipahami dan dihayati oleh seseorang yang menyebut dirinya pustakawan. Dalam diagram itu jelas bahwa titik pusatnya adalah pustakawan meski awal situasi adalah dari pustaka.

Jika diagram itu dibalik maka pustakawan tetap menjadi fokus sedang pustaka tetap menjadi awal meski posisinya ada di bawah (benih tumbuhan). Yang berbeda adalah posisi kepustakawanan. Pada diagram awal, letak kepustakawanan ada pada posisi terbawah.

Ibaratnya tumbuh-tumbuhan, posisi terbawah adalah akar. Akar meski tidak tampak, namun justru dari kerja akarlah tumbuh-tumbuhan dapat berkembang dan berbuah. Maka kepustakawanan dalam pohon itu memiliki fungsi yang tidak tergantikan.

Jika diagram dibalik, maka kepustakawanan berada pada puncak diagram. Merupakan puncak pertumbuhan dari pustakawan. Dapat dikatakan kepustakawanan adalah yang menumbuhkan sekaligus menjadi hasil (tujuan) kesempurnaan pustakawan. Pustakawan memerlukan pendekatan filosofis untuk memahami dan menghayati awal dan tujuan hidup kepustakawanannya.

Pendekatan Kebahasaan. Menurut Tata bahasa baku Bahasa Indonesia, edisi ketiga Tahun 2003, penurunan nomina dengan suffiks wan dan wati mengacu pada: a) orang yang ahli dalam bidang tertentu, b) orang yang mata pencahariannya atau pekerjaannya dalam bidang tertentu, atau c) orang yang memiliki barang atau sifat khusus.

Dalam kasus ini, kata pustakawan nampaknya lebih mudah dimengerti dengan penjelasan a) dan penjelasan b). Sehingga pustakawan adalah : a) orang yang ahli dalam bidang pustaka atau b) orang yang mata pencahariannya atau pekerjaannya dalam bidang pustaka.

Jika demikian, secara logis orang yang memenuhi dua batasan a) dan b) tersebut tidak hanya terdiri dari pustakawan seperti pemahaman kita selama ini. Apakah para pegiat penerbitan maupun pedagang buku dapat juga disebut sebagai pustakawan? Dalam praktik memang tidak pernah mereka itu disebut sebagai pustakawan. Dua kriteria a) dan b) itu akan lebih tepat memberikan keterangan tentang pustakawan jika kata pustaka diganti dengan kata perpustakaan.

Sehingga dua batasan tersebut berbunyi: a) orang yang ahli dalam bidang perpustakaan, dan b) orang yang mata pencariannya atau pekerjaannya dalam bidang perpustakaan. Namun kata bentukannya lalu menjadi apa? Jelas bukan menjadi pustakawan!

Kaidah Bahasa Indonesia memungkinkan juga pembentukan nomina dengan prefiks pe atau peng. Maka untuk kata pustaka jika diawali (ditambah) prefiks pe menjadi pe-pustaka. Huruf ”p” kedua pada kata pe-pustaka luluh menjadi m sehingga kata bentukannya menjadi pemustaka. Mungkinkah kata ini lebih cocok untuk mengganti kata pustakawan? Namun kata ini menurut UU 43, 2007 justru sudah dipakai sebagai pengganti ”pengguna perpustakaan”.

Ide membentuk kata pemustaka memang inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam diskusi pembahasan RUU Perpustakaan pada tahun 2006. Nampaknya istilah ini mulai diterima dan digunakan, meski pada awalnya banyak pustakawan berkeberatan.

Di atas telah disebut pembentukan nomina dengan penjelasan ketiga yaitu c) orang yang memiliki barang atau sifat khusus. Apakah penjelasan ini berlaku pada kata pustakawan? Apakah lalu berarti pustakawan adalah orang yang memiliki pustaka? Nampaknya tidak. Namun apakah berarti orang yang memiliki sifat khusus? Untuk pertanyaan ini rasanya memang sebaiknya kata pustakawan dijelaskan dengan batasan orang yang memiliki sifat khusus. Jika kita menyimak kasus lain, bukankan kita memahami bahwa tidak semua pimpinan pemerintahan itu negarawan?

Demikian juga UU Perpustakaan mengatur tidak semua tenaga perpustakaan itu pustakawan (UU 43, 2007 Pasal 29 Ayat 1). Rasanya sufiks wan memiliki makna yang lebih dalam yang dapat menjelaskan sifat khusus tersebut. Pertanyaan yang penting sekarang adalah: ”Sifat khusus apa yang dimiliki oleh pustakawan?” Apakah sifat khusus itulah yang disebut kepustakawanan?

Kata kepustakawanan sendiri memang menjadi kata turunan dari kata pustakawan. Kaidah Bahasa Indonesia menerangkan arti afiks ke-an. Penurunan nomina dengan ke-an dengan sumber nomina artinya merujuk pada: keabstrakan atau hal mengenai sesuatu. Sehingga kepustakawanan adalah keabstrakan atau hal mengenai pustakawan.

Dengan demikian kepustakawanan mempunyai lingkup makna yang luas. Kepustakawanan dapat berarti mulai dari persyaratan menjadi pustakawan, karakter pustakawan, dan lain sebagainya sampai ke idealisme dari pustakawan. Oleh sebab itulah sekali lagi dinyatakan perlunya pendekat¬an filosofis guna menerangkan makna kepustakawanan.

Pendekatan Filosofis Driyarkara. Pada bagian ini dikutip pokok-pokok pikiran Driyarkara yang dipakai nantinya dalam mencari makna kepustakawanan. Driyarkara membedakan antara filsafat sebagai ilmu (yang tidak dibahas dalam tulisan ini), dan filsafat dalam arti yang lebih luas yaitu dalam arti: usaha mencari jawab atas berbagai pertanyaan hidup, menanyakan dan memperso¬al¬¬kan segala sesuatu.

Dikatakan pula bahwa filsafat adalah pernyata¬an/penjelmaan dari sesuatu yang hidup di dalam hati setiap orang. Maka walau pun tidak setiap orang dapat menjadi ahli filsafat, namun yang dibicarakan atau dipersoalkan dalam filsafat itu memang berarti bagi kita semua.

Pustakawan adalah orang (manusia). Maka jika kita memakai kalimat Driyarkara dengan mengganti kata orang dengan kata pustakawan dan sedikit memodifikasikannya, maka akan diperloleh kalimat berikut:

Filsafat kepustakawanan adalah pernyataan/penjelmaan dari sesuatu yang hidup di dalam hati setiap pustakawan. Maka walaupun tidak setiap pustakawan dapat menjadi ahli filsafat, namun yang dibicarakan atau dipersoalkan dalam filsafat kepustakawanan itu memang berarti bagi semua pustakawan.

Perlu juga kiranya disampaikan pandangan Diryarkara tentang pentingnya pelajaran filsafat. Dikatakannya bahwa filsafat tidak melulu yang teoritis saja, namun akhirnya juga bermuara pada kehendak dan perbuatan yang praktis. Ditekankannya mengapa orang ingin mengerti, karena ingin mengerti untuk berbuat. Sehingga pengertian dan pengetahuan itu dipakai orang dalam menjalani hidupnya.

Selanjutnya disebutkan beda antara orang yang berfilsafat dan yang tidak, itu terletak dalam sikap mereka terhadap hidup manusia. Dengan demikian pustakawan sudah seharusnyalah juga mencari jawab atas segala pertanyaan hidupnya terutama dalam menjalani profesinya. Dengan kata lain pustakawan memerlukan filsafat kepustakawanan agar mempunyai sikap (ideal) terhadap hidup kepustakawanannya.

Selanjutnya menurut Driyarkara, pelajaran filsafat adalah cara mendidik, membangun diri kita sendiri karena: 1) dengan berfilsafat kita lebih menjadi manusia 2) kebiasaan melihat dan menganalisis persoalan membuat kita lebih cerdas dan tangkas untuk melihat dan memecahkan persoalan dalam hidup keseharin kita 3) pelajaran filsafat mengajar dan melatih kita memandang dengan lebih luas, dan 4) dengan pelajaran filsafat kita diharapkan menjadi orang yang dapat berpikir sendiri.

Dikatakannya pula jika dipandang menurut isinya:

a.Filsafat memberi dasar pengetahuan kita, memberikan pandangan yang sintetis pula hingga seluruh pengetahuan kita merupakan kesatuan.

b.Hidup kita dipimpin oleh pengetahuan kita. Sebab itu mengetahui kebenaran berarti mengetahui dasar hidup sendiri. Dalam etika hal ini tampak nyata.

c. Khususnya bagi seorang pendidik, filsafat mempunyai kepentingan istimewa karena filsafat memberi dasar dari ilmu-ilmu lainnya mengenai manusia, misalnya ilmu mendidik, sosiologi, ilmu jiwa, dan lain sebagainya .

Karena pustakawan adalah manusia, dan manusia adalah pribadi, maka perlu juga disampaikan di sini pandangan Driyarkara terhadap pribadi dan kepribadian. Namun untuk memahami pribadi dan kepribadian ini, haruslah berawal dengan pemahaman akan manusia yang menurutnya tidak hanya ”apa” melainkan juga ”siapa”.

Keberadaaan ”apa” dan ”siapa” ini tidaklah seperti ”apa” ditambah dengan ”siapa” melainkan lebih sebagai keberadaan bersama. ”Apa” menunjukkan materi tubuh manusia, sedang ”siapa” menunjukkan ”roh” oleh karena itu manusia adalah ”Pribadi”.

Dikatakannya bahwa manusia ”bersemayam” dalam diri sendiri. Bersemayam tidak hanya berarti ”berada di”, melainkan juga bertahta. Bertahta mengandung arti berkuasa, berdaulat : kekuasaan, kewibawaan, dan kedaulatan seakan-akan terlihat dalam cara duduk raja yang disebut ”bersemayam” itu.

”Pribadi” menurut Driyarkara adalah kekayaan kodrati yang ada dalam diri manusia yang memang harus dikembangkan. Oleh karena itu: Pribadi manusia supaya betul-betul menjadi Pribadi harus menjadi Kepribadian.

Secara lebih lengkap perlu selanjutnya dikutip di sini bahwa: Pribadi yang tidak menjadi kepribadian itu merupakan pribadi yang terjerumus, Pribadi yang tidak setia terhadap Tuhan, terhadap masyarakat dan dirinya sendiri, Pribadi yang kehilangan keluhuran dan kehormatannya.

Kepribadian adalah perkembangan dari Pribadi. Perkembangan yang betul-betul menjalankan kedaulatan dan kekuasaannya atas dirinya sendiri dan tidak dijajah oleh kenafsuan-kenafsuan, dan dunia material. Jika ini tercapai maka Pribadi betul-betul ”bersemayam” dalam dirinya sendiri.

Driyarkara mengakui bahwa selama manusia masih di dunia tentu tidak akan dapat mencapai kesempurnaan itu. Maka manusia dikatakannya tetap tinggal sebagai ”potensi” menuju ke kesempurnaan. Konsep ”Pribadi” ini merupakan pemikiran kunci filsafat manusia dari Driyarkara, yang ingin diterapkan dalam membahas pustakawan dan kepustakawanan.

Pustakawan & Kepustakawanan. Pengertian tentang pustakawan diatur dalam Undang-Undang Nomor 43, Tahun 2007 tentang Perpustakaan (UU 43, Th 2007).

Menurut UU tersebut pustakawan adalah: seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksa¬na¬kan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.

Dengan demikian dua syarat menjadi pustakawan adalah pendidikan kepustakawanan dan tugas dalam bidang perpustakaan. Sayang UU tidak menjelaskan batasan tentang kepustakawanan.

Batasan kepustakawanan ditemukan dalam SK MenPan nomor Nomor 132, Tahun 2002. Diartikan kepustakawanan adalah ilmu dan profesi di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi. Batasan ini terasa sekali penekanannya pada kompetensi (ilmu dan profesi). Patut dipertanyakan mengapa batasan ini tidak mengacu pada kata dasarnya yaitu pustakawan?

Mengapa justru mengarah bidang perpustakaan? Padahal istilah kepustaka¬wanan digunakan untuk menerjemahkan kata librarinship yang berawal dari kata librarian. Selayaknyalah penjabaran arti dan makna kepustakawanan bertolak dari kata pustakawan.

Pustakawan adalah mahkluk hidup yang disebut sebagai manusia. Driyarkara menyebut manusia yang tidak hanya ”apa” melainkan juga ”siapa” itu sebagai ”pribadi”. Dengan demikian ”pustakawan” adalah pribadi.

Menarik melihat ”pustakawan” dan ”pribadi” ini dari sudut tata bahasa. Jika dua kata itu diturunkan dengan tambahan ke-an, maka ”pustakawan” akan menjadi ”kepustakawanan”, sedang ”pribadi” akan menjadi ”kepribadian”. Padahal ”pustakawan” adalah juga ”pribadi”, sehingga dapat diharapkan ada kesetaraan konsep ”pustakawan dan kepustakawanan” dengan konsep ”pribadi dan kepribadian”.

Logikanya pemikiran Driyarkara tentang ”pribadi dan kepribadian” berlaku juga untuk konsep ”pustakawan dan kepustakawanan”

Pokok pikiran Driyarkara tentang pribadi dan kepribadian adalah:

• Pribadi manusia supaya betul-betul menjadi Pribadi harus menjadi Kepribadian.
• Pribadi yang tidak menjadi kepribadian itu merupakan pribadi yang terjerumus, Pribadi yang tidak setia terhadap Tuhan, terhadap masyarakat dan dirinya sendiri, Pribadi yang kehilangan keluhuran dan kehormatannya.
• Kepribadian adalah perkembangan dari Pribadi. Perkembangan yang betul-betul menjalankan kedaulatan dan kekuasaannya atas dirinya sendiri dan tidak dijajah oleh kenafsuan-kenafsuan, dan dunia material. Jika ini tercapai maka Pribadi betul-betul ”bersemayam” dalam dirinya sendiri.

Analogi dengan sedikit modifikasi berikut tentunya dapat dipakai sebagai permenungan dengan mengganti kata pribadi dengan pustakawan dan kata kepribadian dengan kata kepustakawanan.

• Pustakawan supaya betul-betul menjadi Pustakawan harus menjadi dan memiliki Kepustakawanan.
• Pustakawan yang tidak menjadi kepustakawanan itu merupakan pustakawan yang terjerumus, Pustakawan yang tidak setia terhadap Tuhan, terhadap masyarakat dan dirinya sendiri, Pustakawan yang kehilangan keluhuran dan kehormatannya.
• Kepustakawanan adalah perkembangan dari Pustakawan.. Perkembangan yang betul-betul menjalankan kedaulatan dan kekuasaannya atas dirinya sendiri dan tidak dijajah oleh kenafsuan-kenafsuan, dan dunia material. Jika ini tercapai maka Pustakawani betul-betul ”bersemayam” dalam dirinya sendiri.

Pada bagian pendahuluan tulisan ini telah dinyatakan bahwa kepustakawanan adalah se¬suatu yang menumbuhkan sekaligus menjadi hasil (tujuan) kesempurnaan pustakawan. Kiranya pernyatan ini cocok dengan konsep Driyarkara tentang bersemayamnya pribadi dalam diri manusia.

Pustakawan dan kepustakawanan adalah dua yang menyatu dan saling menguatkan. Seperti pribadi yang berkembang menjadi kepribadian, maka pusta¬ka¬wan juga berkembang menjadi kepustakawanan, Sehingga kepustakawanan menjadi keutamaan seorang pustakawan.

Dapat dikatakan bahwa tidak semua pribadi itu memiliki kepribadian. Maka analoginya juga tidak semua pustakawan itu memiliki kepustakawanan. Hal ini sangat tergantung pada pustakawan, apakah mau menyemai dan mengembangkan benih kepustakawanan yang sudah dimilikinya sehingga mencapai kesempurnaan? Pertanyaan berikutnya yang penting adalah: ”Bagaimanakah pustakawan memperoleh benih kepusta¬kawanan itu?”

Sejak akhir dasawarsa 1990-an penulis menganut paham bahwa kepustakawanan itu pada dasarnya adalah: 1) panggilan hidup, 2) semangat hidup, 3) pelayanan, dan 4) kegiatan profesional.

Dalam praktik keseharian pustakawan, maupun dalam pendidikan dan pelatihan calon pustakawan, rasanya unsur keempat yaitu kegiatan profesional itulah yang menjadi fokus. Unsur ketiga (pelayanan) sudah mulai tidak ditekankan lagi karena kini lebih mengenalkan bahwa pustakawan adalah mitra bagi pemustaka.

Yang jarang atau bahkan tidak dibicarakan adalah masalah panggilan hidup dan semangat hidup. Bagian yang jarang dibicarakan itulah yang menjadi fokus tulisan ini. Apa yang lebih penulis lihat dan perhatikan adalah the other side of science and technology in the library field.

Dalam bahasa sehari-hari, unsur profesional kita setarakan dengan kemampuan maka sisi lain yang penulis maksud adalah kemauan. Kemauan adalah awal dari suatu tindakan. Seorang yang mampu bertindak namun tidak mau bertindak pasti juga tidak akan terjadi tindakan. Meski seorang belum mampu bertindak namun mau, logikanya dia akan belajar karena dorongan kemauan itu, sehingga suatu saat dapat menghasilkan tindakan.

Kemauan erat kaitannya dengan semangat atau spirit. Dari manakah kemauan itu? Memang inilah yang menjadi permasalahan. Kemauan bisa timbul dari dalam diri sendiri, namun juga dapat saja ditimbulkan oleh pihak luar. Tidak jarang akibat terpaksa menimbulkan kemauan. Hal ini mungkin saja terjadi dan sangat tergantung pada sikap seseorang dalam menghadapi keterpaksaan itu.

Dalam hidup kita sebagai pustakawan juga tidak jarang berawal dari keterpaksaan. Memang ada juga yang dari kecil sudah bercita-cita menjadi pustakawan. Hanya saja besarkah jumlah prosentasenya? Mayoritas pustakawan sebelumnya memang tidak benar-benar mencita-citakan dirinya menjadi pustakawan. Lebih banyak benih kepustakawanan itu diperoleh melalui proses atau perjalanan hidup.

Seperti halnya konsep panggilan hidup, seseorang menerima panggilan itu bukan dari dirinya sendiri. Panggilan selalu dari pihak lain, bukan dari diri sendiri. Panggilan yang dari diri sendiri lebih tepat disebut sebagai panggilan hati.

Jika dia bersikap positif (sublimatif) maka kemauan yang benar akan timbul. Jika dia menerimanya secara negatif maka meski dia melakukannya namun dengan terpaksa hingga tindakannya bersifat kompensatif. Dapat diduga bagaimana hasil tindakan yang kompensatif itu.

Pertanyaan ini muncul juga dalam bidang perpustakaan: ”Bagaimana hasil kerja kaum praktisi terlebih kaum akademisi bidang perpustakaan jika pola pikir dan pola tindak mereka memakai pendekatan kompensatif?” Oleh sebab itu dalam mendidik calon pustakawan hendaknya ada upaya memotivasi calon untuk dapat memiliki pendekatan sublimatif. Upaya itulah yang harus dilakukan oleh para pendidik calon pustakawan, termasuk para akademisi bidang perpustakaan.

Seseorang yang berani menjawab panggilan hidup itu akan mau menjawab “ya”. Dari sinilah dapat ditemukan ”roh yang menggerakkan” sehingga orang mau memilih dn berani menjalani jalan kepustakawanan. Tidak semua orang terpanggil untuk itu, atau lebih tepatnya tidak semua orang mau menjawab ”ya” pada panggilan itu. Bagi yang berani menjawab panggilan, maka kepustakawanan akan menjadi semangat hidup (spirit of life).

Roh ini menggerakkan seorang pustakawan dalam menjalani hidup meski bisa saja tidak lagi bekerja di perpustakaan. Semangat kepustakawanan inilah yang idealya diajarkan disekolah atau tempat pelatihan calon pustakawan. Siswa tidak hanya diajari pengetahuan teknis, namun terlebih bagaimana menghayati jiwa kepustakawanan.

Dengan itu diharapkan siswa menemukan benih kepustakawanan. Benih kepustakawanan itu harus disemai, dirawat, dipupuk, jika perlu juga dipangkas rapi agar tumbuh subur berkembang dan berbuah.

Kebiasaan dalam dunia pertanian, para petani memiliki kelompok tani yang bersama mengusahakan agar pertanian yang dikerjakan berbuah benar dan banyak. Dalam kelompok tani itulah petani berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk berproduksi, serta memperjuangkan posisi ideal dalam perdagangan hasil pertanian.

Demikian juga pustakawan hendaknya bersatu dalam organisasi profesi. Memang masih menjadi pertanyaan besar: ”Apakah organisasi profesi pustakawan sudah melaksanakan tugas kewajibannya dalam hal ini?” Sejauh ini masih dirasakan bahwa organisasi di bidang perpustakaan lebih terasa hanya sebagai ”paguyuban”, semacam arisan keluarga. Jika hanya demikian lalu apa tanggung jawab organisasi profesi terhadap para anggota, terlebih terhadap profesi pustakawan?

Kembali ke masalah benih, muncul pertanyaan mendasar bagaimana petani memilih benih unggul? Apa karakter benih unggul? Demikian juga dengan pustakawan, bagaimana memilih benih unggul kepustakawanan? Apa karakter benih unggul tersebut?

Idealnya benih unggul kepustakawanan memiliki karakter asketis yaitu: 1) jujur, 2) sederhana, dan 3) rendah hati. Inilah sebagian keutamaan seorang pustakawan. Dengan bekal ini maka pustakawan dengan sadar, rela, dan senang hati melakukan pelayanan.

Konsep pela¬yan¬an adalah: menempatkan diri satu tingkat lebih rendah dari yang dilayani, namun tanpa kehilangan harga diri. Hal ini hanya dapat dikerjakan oleh orang yang telah betul-betul mengenal jatidirinya. Demikian juga dengan pustakawan, hendaknya juga betul-betul mengenal jatidiri sebagai pustakawan.

Seiring dengan perkembangan, tuntutan pada mutu pelayanan juga semakin meningkat. Pelayanan dituntut semakin profesional. Layanan yang tidak profesional tidak akan laku! Maka pustakawan memang harus profesional. Salah satu landasan profesionalitas adalah ilmu pengetahuan, yang dalam hal ini adalah .

Landasan lain bagi profesional adalah organisasi dan etika profesi. Organisasi profesi pustakawan yang secara singkat sudah disinggung sebelumnya harus menjadi wahana pustakawan dalam melakukan pengembangan profesionalitas secara berkelanjutan (continuing professional development = CPD).

Selain itu organisasi profesi pustakawan harus melindungi profesi pustakawan. Dengan demikian organisasi profesi pustakawan dapat melakukan fungsinya sebagai penjamin mutu (quality assurance) pustakawan. Di pihak lain, lembaga tempat kerja pustakawan melaksanakan fungsi pengontrol mutu (quality control) pustakawan.

Penjamin mutu dan pengontrol mutu, selayaknya mempunyai jalur komunikasi timbal balik (dua arah). Jalur komunikasi ini merupakan salah satu jalur dalam sistem komunikasi yang lebih luas antara: 1) lembaga pendidikan pustakawan, pustakawan, 2) organisasi profesi pustakawan, dan 3) lembaga tempat kerja pustakawan (perpustakaan) di satu pihak berhadapan dengan pihak lain yaitu pemustaka sebagai yang dilayani.

Jika dilihat di satu sisi terlebih dahulu, apakah jalur komunikasi antara organisasi profesi pustakawan, lembaga pendidikan pustakawan, dan lembaga tempat kerja (perpustakaan) sudah dikembangkan dan dilaksanakan? Lalu di mana posisi setiap pustakawan dalam sistem komunikasi tersebut? Apakah komunikasi itu sudah dilakukan secara interaktif?

Yang lebih penting tentunya di mana posisi pustakawan dalam sistem komunikasi ini? Harus diingat bahwa pribadi pustakawan berada pada fokus sistem komunikasi tersebut. Dengan kata lain adalah sistem komunikasi yang berpusat pada pustakawan (librarian centered communication system). Lalu bagaimana sebaiknya gambar arsitektur sistem komunikasi itu?

Dalam melukiskan sistem sebaiknya digambarkan dengan segitiga sama sisi. Mengapa lukisan itu harus segitiga sama sisi? Sudah diketahui bahwa sistem terbagi atas bagian yang disebut sub sistem. Sub sistem inipun dapat dibagi lagi menjadi sub-sub sistem. Demikian seterusnya sehingga menuju bilangan tak berhingga.

Di lain pihak sistem itu sendiri dapat dilihat sebagai sub sistem dari sistem yang lebih besar. Sedang sistem yang lebih besar ini juga dapat dilihat sebagai sub sistem dari sistem yang lebih besar lagi. Demikian seterusnya menjadi tak berhingga. Bentuk yang dapat dibagi menjadi bentuk sebangun menuju bilangan tak berhingga, dan merupakan bagian dari bentuk sebangun yang lebih besar menuju bilangan tak berhingga adalah segitiga sama sisi.

Dengan demikian, diagram semesta komunikasi tersebut dapat digambar sebagai segitiga sama sisi berikut.


Singkatan:

P : Pustakawan
LP : Lembaga Pendidikan Pustakawan
OP : Organisasi Profesi Pustakawan
LK : Lembaga Kerja Pustakawan (Perpustakaan)

Penjelasan:

Dari gambar segitiga sama sisi diatas jelas ada segitiga kecil: LP, OP, dan LK mempunyai masing-masing satu titik singgung. Titik singgung tersebut melukiskan jalur komunikasi. LP berkomunikasi dengan OP dan LK; OP berkomunikasi dengan LK dan LP; serta LK berkomunikasi dengan OP dan LP. Tiga hubungan komunikasi timbal balik ini adalah komunikasi organisasi.

Bagaimana komunikasi Pustakawan dengan tiga lembaga tersebut? Karena letak (segitiga) Pustakawan ada di pusat segitiga sistem komuniaksi, maka (segitiga) Pustakawan tidak sekedar memiliki titik singgung saja. (Segitiga) Pustakawan bahkan memiliki garis singgung dengan tiga segitiga yang lain (LP, OP, dan LK). Berarti komunikasi antara Pustakawan dengan tiga lembaga tersebut harus lebih intens. Komunikasi ini seyogyanya interaktif.


Organisasi profesi pustakawan tidak dapat dipisahkan dari etika profesi pustakawan. Menjadi keharusan bahwa organisasi profesi pustakawan juga menetapkan dan menegakkan kode etik pustakawan (UU 43, Tahun 2007, Pasal 35, Huruf b). Masalah etika pustakawan memang masih jarang dibicarakan atau didiskusikan oleh kalangan pustakawan Indonesia.

Memang salah satu organisasi profesi pustakawan di Indonesia sudah memiliki apa yang mereka sebut kode etika. Hanya sayangnya sosialisasi atas kode etika itu sendiri belum luas. Bahkan dapat diduga belum semua anggota pengurusnya mengetahui apalagi memahami isi kode etika yang mereka miliki. Jadi masalah kode etika pustakawan Indonesia rasanya masih asing bagi kebanyakan pustakawan.

Apalagi kini tidak hanya satu organisasi profesi pustakawan di Indonesia. Idealnya berbagai organisasi profesi pustakawan yang ada perlu bersama bersepakat menyusun dan menegakkan Kode Etika Pustakawan Indonesia.

Kode etika profesi termasuk ranah etika terapan. Merupakan upaya untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus melalui ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu (Bertens, 2002). Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama.

Lebih lanjut Bertens mengatakan bahwa : Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan juga karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu mempunyai tanggung jawab khusus.

Karena memiliki monopoli atas suatu keahlian tertentu, selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi orang luar dan menjadi suatu kalangan yang sukar ditembus. Bagi klien yang mempergunakan jasa tertentu seperti itu dapat mengakibatkan kecurigaan jangan-jangan ia dipermainkan. Kode etik dapat mengimbangi segi negatif profesi.

Pernyataan Bertens yang penulis beri huruf tebal di atas dapat menjadi butir-butir diskusi dan permenungan pustakawan. Beberapa pertanyaan dapat diajukan seperti:

1) apakah benar bahwa profesi pustakawan di Indonesia ini sudah menjadi keahlian tertutup ?;
2) apakah pustakawan di Indonesia ini sudah mempunyai kekuasaan tersendiri?; 3) apakah pustakawan Indonesia menjadi kalangan yang sukar ditembus?;
4) adakah kecurigaan pemustaka bahwa dia dipermainkan pustakawan?;
5) apakah ada segi negatif profesi pustakawan?; dan
6) jika ada apakah kode etika pustakawan Indonesia yang nanti disepakati sudah dapat mengimbangi segi negatif itu?

Pertanyaan tersebut hendaknya menjadi discourse dalam organisasi pustakawan yang ada.

Sebelum mulai dengan discourse selayaknya dirumuskan terlebih dahulu tentang jatidiri pustakawan. Uraian sebelumnya telah mengulas pustakawan yang idealnya memiliki kepustakawanan yang ditopang dengan empat pilar. Pilar keempat adalah profesionalisme. Dari aspek ini tidak boleh dilupakan adalah permasalahan etika.

Menurut Bertens terdapat dua macam pendekatan etika. Dua pendekatan itu adalah: etika keutamaan dan etika kewajiban. Etika keutamaan mempelajari keutamaan (virtue) atau watak yang dimiliki manusia. Etika kewajiban mempelajari prinsip dan aturan moral yang berlaku untuk suatu perbuatan. Jika etika keutamaan mempertanyakan : ”Akan menjadi manusia seperti apakah aku ini?”

Etika kewajiban kemudian mempertanyakan: ”Apa yang harus kulakukan?” Sehubungan mencari jatidiri pustakawan Indonesia maka pertanyaan awal yang harus dijawab adalah: ”Akan menjadi manusia pustakawan seperti apakah aku ini ?


Epilog. Istilah kepustakawanan perlu dicari arti dan maknanya, karena itulah sifat khusus pusta¬ka¬wan. Yang dicari adalah makna ideal bagi istilah tersebut, yang nantinya diharapkan menjadi ajaran paham idealisme pustakawan Indonesia.

Dalam diskusi filsafat jika ting¬kat idealisme diletakkan pada puncak tertinggi, maka awal landasan sebagai kebalikan dari idealisme adalah ajaran materialisme. Dalam praktiknya puncak itu memang tuk pernah akan tercapai. Namun puncak itu dapat dianggap sebagai pandangan penuntun yang harus diupayakan semakin didekati. Berarti dapat diketahui posisi pribadi kita masing-masing di antara dua titik ekstrem itu. Apakah saya sekarang lebih dekat ke titik idealisme atau lebih dekat ke titik materialisme?

Posisi awal kita sebagai pustakawan adalah hasil pembelajaran kita dalam menyiapkan diri menjadi pustakawan. Dalam proses ini tentu peran lembaga pendidikan pustakawan sangat besar dan dominan. Oleh sebab itu adalah kewajiban lembaga pendidikan pustakawan yang harus mencari jawab atas posisi awal bagi lulusan mereka.

Paling tidak lembaga pendidikan pustakawan mengenalkan kepada siswanya atas medan dan belantara yang mungkin akan dihadapi para lulusan sekolah terkait. Idealnya lembaga pendidikan itu mengajarkan dan mengajak siswa mau berdiskusi tentang rentang idealisme dan materialisme. Sebagai lembaga pendidikan hendaknya netral dalam pengajarannya.

Mengingat kondisi kebangsaan kita kini, sudah banyak kritik pada paham materialisme. Hendaknya paham tersebut dapat lebih dikendalikan. Janganlah lulusan sekolah perpustakaan nanti¬nya menjadi materialistis. Untuk itu diusulkan agar pemahaman akan paham yang terletak di antara dua ekstrem tersebut menjadi fokus pengajaran.

Paham antar ini adalah aliran eksistensialisme. Menurut Driyarkara eksistensialisme bukan sekedar berada, tetapi adalah mengada. Dapat dijelaskan dengan kata sederhana makna mengada seperti keberadaan garam dalam masakan. Meski lenyap (tidak terlihat) karena menyatu dalam masakan, namun garam memberi rasa pada masakan. Jika masakan hambar maka garam akan selalu dicari.

Sebagai uji coba atas eksistensi perpustakaan pertanyaan berikut perlu dijawab: ”Apakah perpustakaan juga dicari jika tidak ada (tutup) ?” Atau : ”Apakah pustakawan juga dicari saat tidak hadir?” Jelas tidak akan dicari apabila perpustakaan atau pustakawan tidak memberi rasa pada masyarakat lingkungan-nya. Sebagai garam jika sudah hilang rasa asinnya tentu tidak berguna dan akan dibuang.

Garam yang kehilangan rasa asin mengibaratkan juga pustakawan yang kehilangan kepustakawanannya. Kepustakawanan (rasa asin) awal itulah yang harus dihasilkan semua sekolah pustakawan kita. Pertanyaan kepada sekolah pustakawan: ”Apakah mau menghasilkan calon pustakawan yang memiliki roh kepustakawanan?”

Epilog ini bukan penutup yang mengakhiri, namun lebih berfungsi sebagai sebuah pengantar untuk memulai diskusi berkelanjutan tentang kepustakawanan kita. Tulisan inipun bukan memberi kesimpulan, karena memang upaya untuk mengajak belajar berfilsafat, maka tidak ada akhirnya selama kehidupan manusia (pustakawan) tetap ada.



Jakarta, 4 Juli 2010

Bacaan :

BERTENS, K
Etika, seri filsafat Atma Jaya. Jakarta : Atma Jaya dan Gramedia Pustaka Utama, 2002. 315 hal.

DRIYARKARA
Karya lengkap Driyarkara : Esai-esai filsafat pemikir yang terlibat penuh dalam perjuangan bangsanya. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006. 1501 hal.

INDONESIA [ Undang-undang, sdb ]
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan. Jakarta : Perpustakaan Nasional R.I., 2007. 46 hal.

TATA bahasa baku Bahasa Indonesia. Penyusun Hasan Alwi, Soenjono Darmowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M Moeliono. Edisi ketiga, cetakan keenam. Jakarta : Pusat Bahasa dan Balai Pustaka, 2003. 486 hal.

Senin, 27 Juni 2011

Filsafat Kepustakawanan

Oleh : Blasius Sudarsono
Pustakawan PDII-LIPI



Pertanyaan. Diskusi tentang kepustakawanan selayaknya diawali dengan sebuah pertanyaan: “Apa sih yang dimaksud dengan kepustakawanan itu?”

Pertanyaan ini membawa pustakawan memasuki ranah filsafat, jika menindaklanjutinya dengan pemikiran mendalam dan mendasar tentang kepustakawanan itu. Dilihat dari kaidah bahasa, kata kepustakawanan berasal dari kata pustakawan yang mendapat afiks (imbuhan) ke – an.

Tetapi kata pustakawan sendiri adalah kata turunan yang berasal dari kata pustaka yang mendapat subfiks (akhiran) wan. Selain itu, kata dasar pustaka dapat menurunkan dua kata lain yaitu kepustakaan dan perpustakaan.

Lima kata bersaudara itu pantas menjadi kata kunci yang harus dipahami dan dihayati oleh seseorang yang menyebut dirinya pustakawan. Dalam diagram itu jelas bahwa titik pusatnya adalah pustakawan meski awal situasi adalah dari pustaka. Jika diagram itu dibalik maka pustakawan tetap menjadi fokus sedang pustaka tetap menjadi awal meski posisinya ada di bawah (benih tumbuhan).

Yang berbeda adalah posisi kepustakawanan. Pada diagram awal, letak kepustakawanan ada pada posisi terbawah. Ibaratnya tumbuh-tumbuhan, posisi terbawah adalah akar. Akar meski tidak tampak, namun justru dari kerja akarlah tumbuh-tumbuhan dapat berkembang dan berbuah. Maka kepustakawanan dalam pohon itu memiliki fungsi yang tidak tergantikan.

Jika diagram dibalik, maka kepustakawanan berada pada puncak diagram. Merupakan puncak pertumbuhan dari pustakawan. Dapat dikatakan kepustakawanan adalah yang menumbuhkan sekaligus menjadi hasil (tujuan) kesempurnaan pustakawan.

Pustakawan memerlukan pendekatan filsafati untuk memahami dan menghayati awal dan tujuan hidup kepustakawanannya.

Sumber foto : http://senseandref.blogspot.com.

Saling-Silang Kepustakawanan

28 juni 2011