Kamis, 26 April 2012

Angin Barat, Barcelona dan Kemarahan Pustakawan


Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com

Angin Barat mengajak adu kuat melawan Angin Timur. Yang menang adalah fihak yang mampu menjatuhkan seekor kera yang nampak sedang bersantai-santai di cabang pepohonan.

Angin Barat memulai pertandingan. Ia segera meniupkan hembusannya secara kuat-kuat ke arah kera. Kera yang terkejut dengan sigap segera memegang dahan sekuat-kuatnya. Semakin keras terpaan angin yang menghembus, semakin lengket tubuh kera itu memeluk dahan pepohonan. Angin Barat akhirnya gagal menjatuhkan kera bersangkutan.

Angin Timur memakai cara lain. Ia bertiup semilir, membuai tubuh kera, sehingga dirinya merasa nyaman. Bahkan akhirnya kera itu terkantuk-kantuk dan tertidur. Sontak Angin Timur segera menguatkan hembusannya. Kera itu pun terjatuh.

Kalau Anda meminati kajian tentang pemasaran, periklanan dan kehumasan, variasi lain dari dongeng Aesop di atas (angin melawan matahari) rasanya sudah Anda temui dalam bukunya Al Ries dan Laura Ries, The Fall of Advertising & The Rise of PR (2002). Inti buku ini : iklan itu aksi ibarat AnginBarat, yang menderu, menyerbu, tetapi gagal. Sedang kehumasan (public relations) adalah aksi lembut Angin Timur yang akhirnya berhasil.

Dongeng dan buku di atas segera melintas di benak saya ketika dini hari tadi menonton leg 2 semi final Liga Champions antara tuan rumah Barcelona melawan Chelsea. Pasukan asuhan Pep Guardiola yang canggih bermain tiki-taka menguasai 73 persen pertandingan, mengurung blok pertahanan Chelsea secara habis-habisan.

Barca menggebrak ibarat hembusan si Angin Barat. Sang kera putih asal London segera pasang gerendel Italia (manajernya kan orang Italia, Roberto Dimateo) untuk menahan serbuan awak Catalan. Lama-lama Carlos Puyol dkk kecapekan, frustrasi, dan harus membayar mahal.

Chelsea yang sampai kehilangan benteng tangguh Gary Cahill (cedera) dan bahkan kaptennya yang jahil John Terry kena kartu merah, akhirnya mengunci tiket ke final berkat gol Ramires dan si matador Spanyol, Fernando Torres.

Reporter pertandingan berseru, betapa dalam minggu ini Barcelona di kandang sendiri telah ditaklukkan oleh pasukan lawan yang sama-sama berseragam putih. Hari Minggu lalu oleh seterunya, Real Madrid dan dini hari tadi (25/4/2012) oleh Didier Drogba dan kawan-kawan.

Pertandingan itu mungkin memberikan sesuatu pesan bagi kita, para sejawat pustakawan, betapa agresivitas itu kadang tidak produktif. Memang mungkin memberi kita gelegak adrenalin, perasaan superior, tetapi fihak yang diserang akan juga segera memasang gerendel untuk bertahan.

Sekadar contoh, ketika profesi kita merasa dilecehkan dan kita kontan membalasnya dengan hanya berupa protes dan petisi, kita sepertinya telah terjun dalam kancah pendekatan kalah-menang. Atau bahkan, kalah-kalah adanya. Yang marak justru mutual misunderstanding antara kedua belah fihak !

Ke depan, kiranya profesi ini masih harus belajar untuk terus mampu berbesar hati. Juga ketika menerima perlakuan negatif. Termasuk berani menunjukkan sisi-sisi rawan, vulnerable, dan bahkan kekurangannya sendiri. Seperti komedian sejati, ia rela membeset dirinya sendiri, melakukan otopsi, dan mempertontonkan segala hasilnya kepada dunia.

Dua puluh tujuh tahun yang lalu adalah Drs. Sukarman,MLS, Kepala Pusat Pembinaan Perpustakaan Depdikbud telah menyatakan, kalau ada anggapan yang kurang benar terhadap profesi pustakawan, itu bukan kesalahan masyarakat. “Kita belum berhasil memperkenalkan profesi itu kepada masyarakat. Ini merupakan tantangan kita.” (Sinar Harapan, 25 Januari 1985).

Sudahkah berhasil kini ? Marilah berintrospeksi ketika seorang pustakawan senior Harkrisyati Kamil berujar di Facebook akhir-akhir ini : “Saya melihat pustakawan lebih senang berbicara dengan sesama pustakawan sehingga orang di luar lingkaran kita tidak mengetahui tentang kegiatan kita."

Dengan keberanian untuk berjujur diri itu akan membuat dawai hati fihak lain akan bergetar seirama dengan hati kita. Kita sama-sama manusia. Mereka akan mendekat. Berpeluang kita rangkul sebagai sahabat dan mitra untuk berjuang bersama.

“Kita mampu meraih apa pun di dunia ini apabila kita mampu membantu orang lain untuk meraih apa saja yang mereka inginkan.”

Itu kata Zig Ziglar. Apa kata Anda ?

Wonogiri, 25/4/2012

Rabu, 11 April 2012

Arthur Clarke, Ken Robinson dan Perpustakaan Sebagai Kuburan Passion Para Pustakawan ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Futuris. “Tragedi terbesar dalam seluruh sejarah peradaban manusia boleh jadi adalah pembajakan moralitas oleh agama.”

Itulah salah satu ucapan terkenal dari Sir Arthur Clarke (1917- 2008, foto), ilmuwan Inggris, futuris, dan penulis fiksi ilmiah tersohor. Ketika terjadi tindak kekerasan dengan latar belakang agama, ucapan itu sering saya kutip-kutip kembali.

Hari ini (12/4/2012) yayasannya yang bernama Arthur C. Clarke Foundation akan menyerahkan penghargaan kepada tiga tokoh yang dinilai berjasa dalam pencapaian prestasi (achievement), pembaruan (innovation) dan imajinasi (imagination).

Penerima penghargaan untuk prestasi akan diterimakan kepada Vinton G. Cerf, yang terkenal dengan sebutan “Bapak Internet.” Dia adalah salah satu tokoh penemu bersama arsitektur dan protokol dasar Internet.

Penerima penghargaan untuk kategori pembaruan akan diserahkan kepada Pradman Kaul, Presiden dari Hughes Network Systems, LLC. Pradman Kaul tercatat menonjol dalam kepemimpinannya dalam pengembangan komunikasi satelit, yang ia awali sejak tahun 80-an ketika mendirikan perusahaan di garasi yang menghasilkan jaringan satelit berbasis VSAT.

Sir Ken Robinson on Human Intelligence

Pembantaian kreativitas.Penghargaan untuk imajinasi, kategori yang baru pertama kali dihadirkan pada tahun 2012 ini akan diterimakan kepada Sir Ken Robinson (foto). Tokoh internasional yang menginspirasi dalam merevolusi pendidikan, kreativitas dan inovasi, selama ini bekerja untuk pelbagai negara Eropa, Asia,Amerika, badan internasional, perusahaan besar dan lembaga budaya internasional lainnya.

Jutaan warga Indonesia yang berduyun-duyun berwisata ke Singapura tiap tahun, adalah pula hasil karya Sir Ken Robinson sebagai penasehat pemerintah Singapura.

Sir Ken Robinson terkenal dengan pendapatnya betapa sekolah selama ini hanya berjasa membunuh kreativitas anak. Carolyn Foote, pustakawan sekolah di Austin, Texas (AS) dalam blognya Not So Distant Future menceritakan saat ia mengikuti kuliah umum Sir Ken Robinson yang menitikberatkan sekolah sebagai wahana bagi setiap murid dapat menemukan passion, panggilan hidupnya.

Merujuk hal itu,Carolyn Foote yang meminati kajian tentang web 2.0 itu menyatakan, perpustakaan sekolah merupakan “passion centric.” Pusatnya para murid menemukan panggilan hidup. Karena sekolah tidak mampu membekali pengetahuan cukup untuk setiap anak, waktunya juga terbatas, dan guru pun juga tidak mampu menfasilitasi minat atau bakat tiap-tiap anak didiknya.

“Perpustakaan merupakan tempat paling ideal bagi tiap anak didik dalam menjelajah minat masing-masing,” kata Carolyn Foote. Bahkan menurutnya, perpustakaan merupakan antidote atau penangkal bagi pendidikan model “ban berjalan” selama ini. Karena belajar di perpustakaan bersifat serendipity**, walau ditetapkan pada topik tertentu tetapi dalam penjelajahan informasi setiap orang akan banyak menemukan hal-hal yang tidak terduga.

Dengan menyediakan akses secara luas terhadap beragam bahan pustaka dan juga akses Internet kepada semua fihak, dengan bimbingan pustakawan yang terampil, maka perpustakaan merupakan “passion central” bagi semuanya.

Kuburan passion. Adakah istilah atau jargon perpustakaan sebagai passion central itu akan menarik bagi sejawat pustakawan Indonesia untuk mencamkan, mengeksplorasi dan menyebarkannya ? Jangan-jangan di Indonesia ini perpustakaan justru menjadi kuburan yang nyaman dan terhormat bagi passion kaum pustakawan.

Seorang Mita Kussumawardani dalam blognya telah menulis pernyataan yang jujur berikut ini :

“Saya kesal. Saya sebal. Saya jengkel! Sebal karena pada akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa kebanyakan pustakawan bekerja tanpa passion. Kebanyakan tenggelam dalam rutinitas yang bersifat teknis, dibayar, selesai.

Kalaupun ada diskusi, kenapa ya rasanya berat banget?! Apa karena yang berdiskusi adalah para pakar yang memang berkutat dengan teori, jadi begitu fasih berekspresi? Atau apa karena kebanyakan pustakawan adalah orang-orang “nyasar”?

Nyasar masuk jurusan dan nyasar kerja di perpustakaan, jadi ga peduli untuk lebih mengulik perpustakaan dan kepustakawanan lebih dalam jadi selama pekerjaan teknis beres, ya selesai aja? Jadi, diskusi? Ga ah males toh ga bakal bawa perubahan atau nambahin gaji, mungkin begitu kira-kira jawabannya.”

Apa pendapat Anda ?

Terakhir, di Facebook, saya sejak beberapa bulan yang lalu telah mencatatkan diri sebagai salah satu fans Sir Ken Robinson, dimana status dia pagi ini menjadi inspirasi penulisan kabar ini.

Info lanjut tentang penghargaan yayasan Sir Arthur Clarke 2012, silakan klik : disini.

** Proses serendipity juga terjadi dalam penulisan status ini. Semula saya ingin menulis untuk pembaca umum. Tetapi saat mandi pagi, muncul gagasan untuk mengaitkan ide Sir Ken Robinson itu dengan perpustakaan. Melalui bantuan Google, saya menemukan blognya Carolyn Foote ini.

Wonogiri, 12/4/2012